Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #2

Bab 1 : Senandung Mentari Pagi

....

PAGI di Kota Bandung, mentari memancarkan sinar lembutnya melalui tirai jendela rumah Julia. Dari luar, rumah sederhana yang terletak di jalan yang tenang ini tampak seperti tempat yang damai dan nyaman. Julia adalah seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun yang menjalani profesi sebagai seorang penulis mode di majalah fashion ternama. Dengan rambut cokelat panjang yang selalu diikat rapi, ia baru akan mulai menjalani hari barunya. Dia menggerakkan tirai jendela untuk membiarkan sinar matahari menyinari ruangan, memberikan sentuhan kehangatan di pagi yang sejuk.

Julia tumbuh dalam keluarga sederhana namun penuh kasih sayang. Di rumah, Julia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, Norman, adalah seorang pensiunan pegawai negeri yang dikenal tegas namun penyayang. Norman yang mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, kini harus bergantung pada kursi roda. Meski kondisi fisiknya terbatas, semangat hidupnya tetap menyala. Dia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan penuh kasih. Norman sering menghabiskan waktu di kebun rumah, merawat tanaman dengan penuh perhatian. Dan pagi ini, Norman sudah sibuk menyiram tanaman didepan rumah yang ia rawat sepenuh hati.

Ibu Julia, Sinta, adalah seorang tukang jahit yang menjalankan usaha dari rumah untuk membantu perekonomian keluarga mengingat Norman juga tak lagi bekerja. Bukan karena Norman tidak mau memberi nafkah, akan tetapi Sinta sendiri lah yang meminta. Julia juga melarang Ayahnya untuk bekerja mengingat akan ada banyak kekhawatiran yang bisa menghantui pikirannya. Julia takut Ayahnya mendapatkan perlakuan yang kurang baik selama Ayahnya bekerja. Karena hal itulah Norman lebih banyak menghabiskan waktu untuk tanaman-tanamannya. Julia justru merasa lebih tenang ketika melihat Ayahnya selalu dalam pengawasannya ataupun orang-orang terdekat.

Setiap pagi, Sinta memulai harinya dengan menyiapkan sarapan lezat untuk keluarganya, sementara Julia membantu mengatur meja makan dan merapikan rumah sebelum berangkat kerja.

"Julia, kamu panggil Ayahmu dulu untuk sarapan!" perintah Sinta.

"Iya, Bu!"

Julia bergegas menemui Ayahnya diluar rumah. Senyum cerah terbit melihat Ayahnya masih sibuk menyiram tanaman.

"Ayah! Ayo, sarapan! Menyiram tanamannya bisa dilanjutkan nanti setelah sarapan," ucap Julia.

"Iya. Ayo!" jawab Norman sembari meletakkan alat penyiram tanaman diatas tanah yang basah.

Julia meraih pegangan kursi roda. Membawa Ayahnya masuk kedalam rumah. Tawa ringan dan obrolan hangat memenuhi meja makan, menciptakan suasana yang penuh kasih. Akan tetapi, seketika semua terdiam ketika melihat seorang pria berusia tiga puluh tujuh tahun masuk kedalam rumah dalam keadaan mabuk. Aroma alkohol yang menempel pada baju pria itu menguar di setiap sudut ruangan. Wajah dan rambut yang berantakan, serta baju lusuh dan celana yang kotor dimana pria itu mungkin sempat tidur dijalanan. Julia mencoba tak peduli dan melanjutkan sarapan. Julia sangat benci mengakui kalau pria itu adalah Kakak kandung satu-satunya. Bagaimana Danu bisa disebut Kakak sementara peran dari kata tersebut sepertinya tidak pernah Julia rasakan. Yang Danu lakukan hanyalah mabuk dan berjudi. Pria itu memang paling handal kalau masalah menghamburkan uang dan lepas dari tanggung jawab.

Setelah sarapan, Julia menyempatkan memeriksa pesan-pesan di ponselnya dan menyiapkan diri untuk bekerja.

Julia menyambar tas dan helmetnya.

"Ayah! Ibu! Julia berangkat dulu," ucap Julia sembari mencium tangan kedua orang tuanya.

"Semoga hari ini berjalan lancar!” ucap Norman dengan nada penuh kasih.

"Terima kasih, Ayah. Aku akan selalu berusaha yang terbaik," jawab Julia.

"Kamu pasti sangat sibuk di kantor, Julia. Jangan lupa makan dengan baik. Pekerjaanmu penting, tetapi kesehatanmu lebih penting," ucap Sinta.

Julia tertawa kecil. "Tentu saja, Ibu. Aku akan makan dengan baik. Kalau begitu, Julia pergi dulu. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam! Hati-hati dijalan!" ucap mereka.

Rutinitas Julia termasuk berkendara dengan motor kesayangannya, melintasi jalan Kota Bandung yang masih cukup lengang menuju kantor majalah fashion tempatnya bekerja. Éclat.

Éclat telah lama berdiri sebagai majalah fashion terdepan di negeri ini. Ribuan pelanggan setia rela menunggu disetiap edisi cetak yang akan datang. Éclat juga bukan sekadar majalah fashion, melainkan sebuah perjalanan ke dalam dunia kemewahan dan keanggunan. Di setiap halamannya, Éclat memancarkan kilau tren terbaru, menampilkan inspirasi dari desainer ternama, dan mengeksplorasi keindahan tanpa batas.

Didedikasikan bagi mereka yang menghargai detail dan kehalusan, Éclat mengkurasi setiap artikel, foto, dan wawancara dengan presisi tinggi, menghadirkan perspektif unik tentang dunia mode yang terus berkembang. Mulai dari kilau perhiasan haute joaillerie1 hingga gaya minimalis yang mencuri perhatian di runway, Éclat adalah cerminan dari kemegahan yang tak lekang oleh waktu.

Dengan kombinasi sempurna antara tradisi dan inovasi, Éclat bukan hanya panduan fashion, tetapi juga sumber inspirasi bagi para pencinta seni rupa dan gaya hidup eksklusif. Setiap edisi membawa pembaca lebih dekat pada rahasia keindahan sejati, menyinari aspek-aspek tersembunyi dari industri mode dengan kilauan elegansi yang tiada duanya.


....

Walaupun belum sepenuhnya memasuki jam kerja, orang-orang yang terlibat dalam industri kreatif ini sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Hal yang sudah biasa terjadi mengingat mereka mengejar waktu dan memastikan segala persiapan untuk setiap edisi yang akan datang tetap memperlihatkan kualitasnya dimata pembaca setia.

Pak Wijaya, kepala editor majalah Éclat, mendekati Heri sang editor junior yang sedang memeriksa tumpukan naskah. "Bagaimana progres sampul untuk edisi mendatang?"

"Semua berjalan sesuai rencana, Pak. Pemotretan dengan desainer terkemuka sudah selesai, dan Saya sedang menyusun layout terakhir," jawab Heri dengan sedikit gugup namun penuh hormat.

Pak Wijaya mengangguk puas.

Sesi pengambilan sampul untuk majalah tersebut memang diambil cukup terlambat karena beberapa alasan mendasar.

Julia sampai di kantor dan segera menyapa Pak Wijaya yang tengah serius memeriksa beberapa dokumen di mejanya.

"Selamat pagi, Pak Wijaya!" sapa Julia sambil meletakkan tas di mejanya. "Ada yang bisa Saya bantu hari ini?"

"Ah, Julia. Selamat pagi! Ada beberapa revisi yang perlu kita bahas. Artikel tentang tren mode terbaru yang kamu kerjakan, aku rasa ada beberapa poin yang perlu diperbaiki."

Julia segera menyiapkan dokumen yang dimaksud. "Tentu, Pak. Apa yang perlu diperbaiki?"

Lihat selengkapnya