....
PAGI di Kota Bandung, mentari memancarkan sinar lembutnya melalui tirai jendela rumah Julia. Dari luar, rumah sederhana yang terletak di jalan yang tenang ini tampak seperti tempat yang damai dan nyaman. Julia adalah seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun yang menjalani profesi sebagai seorang penulis mode di majalah fashion ternama. Dengan rambut cokelat panjang yang selalu diikat rapi, ia baru akan mulai menjalani hari barunya. Dia menggeser tirai jendela untuk membiarkan sinar matahari menyinari ruangan, memberikan sentuhan kehangatan di pagi yang sejuk.
Julia tumbuh dalam keluarga sederhana yang penuh dengan kasih sayang. Di rumah, Julia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, Norman, adalah seorang pensiunan pegawai negeri yang dikenal tegas namun penyayang. Norman yang mengalami kecelakaan sepuluh tahun silam, kini harus bergantung pada kursi roda. Meski kondisi fisiknya terbatas, semangat hidupnya masih tetap menyala. Dia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan penuh kasih. Norman sering menghabiskan waktu di kebun belakang rumah. Tanaman hias didepan rumah pun tumbuh dengan baik dan subur berkat perhatian dan usaha kerasnya. Dan pagi ini, Norman sudah sibuk menyiram tanaman didepan rumah yang sudah ia rawat sepenuh hati.
Ibu Julia, Sinta, adalah seorang tukang jahit yang menjalankan usaha dari rumah untuk membantu perekonomian keluarga mengingat Norman juga tak lagi bekerja. Bukan karena Norman tidak mau memberi nafkah, akan tetapi Sinta sendiri lah yang meminta. Julia juga melarang Ayahnya untuk bekerja lagi mengingat akan ada banyak kekhawatiran yang bisa menghantui pikirannya. Julia takut Ayahnya mendapatkan perlakuan yang kurang baik selama Ayahnya bekerja. Karena hal itulah Norman lebih banyak menghabiskan waktu untuk tanaman-tanamannya. Julia justru merasa lebih tenang ketika melihat Ayahnya selalu dalam pengawasannya ataupun orang-orang terdekat.
Setiap pagi, Sinta memulai harinya dengan menyiapkan sarapan lezat untuk keluarganya, sementara Julia membantu mengatur meja makan dan merapikan rumah sebelum berangkat kerja.
"Julia, kamu panggil Ayahmu dulu untuk sarapan!" perintah Sinta.
"Iya, Bu!"
Julia bergegas menemui Ayahnya diluar rumah. Senyum cerah terbit melihat Ayahnya masih sibuk menyiram tanaman.
"Ayah! Ayo, sarapan! Menyiram tanamannya bisa dilanjutkan nanti setelah sarapan," ucap Julia.
"Iya. Ayo!" jawab Norman sembari meletakkan alat penyiram tanaman diatas tanah yang basah.
Julia meraih pegangan kursi roda. Membawa Ayahnya masuk kedalam rumah. Tawa ringan dan obrolan hangat memenuhi meja makan, menciptakan suasana menjadi lebih hangat. Akan tetapi, seketika semua terdiam ketika melihat seorang pria berusia tiga puluh tujuh tahun masuk kedalam rumah dalam keadaan mabuk. Aroma alkohol yang menempel pada baju pria itu menguar di setiap sudut ruangan. Wajah dan rambut yang berantakan, serta baju lusuh dan celana yang kotor dimana pria itu mungkin sempat tidur dijalanan. Julia mencoba tak peduli dan melanjutkan sarapan. Julia sangat benci mengakui kalau pria itu adalah Kakak kandung satu-satunya. Bagaimana Danu bisa disebut Kakak sementara peran dari kata tersebut sepertinya tidak pernah Julia rasakan. Yang Danu lakukan hanyalah mabuk dan berjudi. Pria itu memang paling handal kalau masalah menghamburkan uang dan lepas dari tanggung jawab.
Setelah sarapan, Julia menyambar tas dan helmnya.
"Ayah! Ibu! Julia berangkat dulu, ya!" ucap Julia sembari mencium tangan kedua orang tuanya.
"Yang semangat kerjanya anak Ayah!" ucap Norman sambil mengepalkan tangan ke udara.
"Iya, Ayah! Julia akan selalu semangat!" balas Julia sambil mengepalkan tangan juga.
"Kamu pasti akan sangat sibuk di kantor, Julia. Jangan lupa makan dengan baik. Pekerjaanmu penting, tetapi kesehatanmu jauh lebih penting," ucap Sinta.
Julia tertawa kecil. "Iya, Ibu. Ibu bahkan selalu mengingatkan hal itu setiap pagi sebelum Julia berangkat kerja. Jadi, Julia tidak akan lupa. Kalau begitu, Julia pergi dulu!"
"Hati-hati dijalan!" ucap mereka.
Rutinitas Julia setiap harinya adalah termasuk berkendara dengan motor matic warna cream kesayangannya. Melintasi jalanan Kota Bandung yang masih cukup lengang menuju kantor majalah fashion tempatnya bekerja. Éclat.
Éclat telah lama berdiri sebagai majalah fashion terdepan di negeri ini. Ribuan pelanggan setia rela menunggu disetiap edisi cetak yang akan datang. Éclat juga bukan sekadar majalah fashion, melainkan sebuah perjalanan ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan keanggunan. Di setiap halamannya, Éclat memancarkan kilau tren terbaru, menampilkan inspirasi dari desainer ternama, dan mengeksplorasi keindahan tanpa batas.
....
Walaupun belum sepenuhnya memasuki jam kerja, orang-orang yang terlibat dalam industri kreatif ini sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Hal yang sudah biasa terjadi mengingat mereka mengejar waktu dan memastikan segala persiapan untuk setiap edisi yang akan datang tetap memperlihatkan kualitasnya dimata pembaca setia.
Pak Wijaya, kepala editor majalah Éclat, mendekati Heri sang editor junior yang sedang memeriksa tumpukan naskah. "Heri! Bagaimana progres sampul untuk edisi mendatang?"
"Semua berjalan sesuai rencana, Pak. Pemotretan dengan desainer terkemuka sudah selesai, dan Saya sedang menyusun layout terakhir," jawab Heri dengan sedikit gugup namun penuh rasa hormat.
Pak Wijaya mengangguk puas.
Sesi pengambilan sampul untuk majalah tersebut memang diambil cukup terlambat karena beberapa alasan mendasar.
Julia sampai di kantor dan segera menyapa Pak Wijaya yang tengah serius memeriksa beberapa dokumen di mejanya.
"Selamat pagi, Pak Wijaya!" sapa Julia sambil meletakkan tas di mejanya. "Ada yang bisa Saya bantu hari ini?"
"Ah, Julia. Selamat pagi! Ada beberapa revisi yang perlu kita bahas. Artikel tentang tren mode terbaru yang kamu kerjakan, aku rasa ada beberapa poin yang perlu kamu perbaiki."
Julia segera menyiapkan dokumen yang dimaksud. "Tentu, Pak. Apa yang perlu diperbaiki?"
"Lihat bagian tren vintage yang kamu tulis, kita perlu menambahkan beberapa detail tentang aksesoris yang sedang populer. Selain itu, bagian tentang street style juga perlu di update dengan beberapa foto terbaru," jelas Pak Wijaya sambil menunjuk beberapa halaman.
Julia mengangguk, mencatat semua poin yang disebutkan. "Baik, Pak! Saya akan segera mengerjakan revisinya."