....
MATAHARI baru saja tenggelam saat Julia menerima pesan dari Rendi. Sudah hampir tiga bulan semenjak mereka berkenalan kembali di acara pernikahan Thalia, dan intensitas percakapan dan pertemuan mereka semakin meningkat setiap harinya. Di awal, Julia menganggap semuanya berjalan wajar. Rendi sering mengirimkan pesan di sela-sela pekerjaannya di rumah sakit, menanyakan tentang kegiatan Julia, atau sekadar mengomentari sesuatu yang lucu. Entah itu tentang pekerjaan, sekedar makan diluar, atau menikmati hari libur dengan jalan-jalan bersama. Rendi juga sering mengantar jemput dirinya. Perlahan, ada sebuah pola yang mulai terbentuk, meski samar, tapi Julia menyadarinya.
Di layar ponselnya, ada pesan singkat dari Rendi.
Rendi:
"Masih di kantor?"
Julia tersenyum kecil. Di tengah-tengah kesibukannya menulis artikel mode, pesan-pesan dari Rendi seperti angin segar.
Julia:
"Iya, masih. Tapi, mau pulang sebentar lagi. Kamu?"
Beberapa detik berlalu sebelum ponsel Julia kembali bergetar.
Rendi:
"Aku masih di rumah sakit, tapi bisa izin keluar sebentar. Aku jemput, ya?"
Tanpa berpikir panjang, Julia membalas setuju. Ia tidak menolak tawaran itu, meski sebenarnya ia bisa saja pulang sendiri. Bagaimanapun, perhatian Rendi selalu membuatnya merasa nyaman. Berkat Rendi, Julia jadi rajin naik bus kota ketimbang berkendara naik motor sendiri.
....
Sore itu, saat Rendi tiba di kantor Julia, ia memarkirkan mobilnya dengan rapi. Bona dan Caitlin, yang kebetulan keluar bersamaan dengan Julia, tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka saat melihat sosok Rendi yang terlihat menawan dengan setelan kemeja yang melekat ditubuh.
"Wah, Rendi kelihatan makin keren aja, Ju! Kamu beruntung banget bisa di antar jemput pria tampan seperti dia," ucap Bona.
"Dia dokter spesialis bedah syaraf, 'kan? Pasti sibuk banget, tapi tetap sempat jemput kamu. Jarang-jarang, lho, ada cowok seperti itu," ucap Caitlin.
Julia tersenyum tipis. Meski ada bagian dari dirinya yang merasa Rendi terlalu sempurna, namun ia menepis perasaan itu jauh-jauh, menyalahkan dirinya yang mungkin hanya terlalu berprasangka akan hal-hal yang tidak perlu.
....
Rendi melirik Julia sejenak sambil menyetir. "Jadi, hari ini ada apa di kantor? Pasti sibuk banget, ya?"
Julia yang awalnya melihat keluar jendela, tersenyum tipis dan menjawab. "Iya, agak padat. Aku lagi handle artikel untuk edisi bulan depan, banyak koordinasi dengan fotografer dan editor yang harus dilakukan. Kamu sendiri? Hari ini nggak banyak pasien?"
"Selalu ada, sih! Tapi, aku sempat minta izin keluar sebentar buat jemput kamu. Yah, biar ada alasan buat istirahat sebentar juga," ucap Rendi tersenyum.
Julia tertawa kecil. "Kamu sibuk banget, tapi masih sempat jemput aku? Aku jadi merasa nggak enak."
"Jangan gitu. Jemput kamu itu refreshing buat aku. Bisa ngobrol dan lepas sejenak dari dunia rumah sakit yang serius dan cukup melelahkan. Lagipula, waktu kita di jalan ini malah yang paling aku nanti. Bisa berbagi cerita sederhana dan tertawa bersama tanpa harus memikirkan beban pekerjaan atau masalah lainnya."
"Iya, kamu benar. Ngobrol kayak gini memang bikin pikiran lebih ringan. Terkadang, aku juga butuh momen seperti ini, jauh dari rutinitas sehari-hari," ucap Julia.
"Kadang, hubungan pertemanan yang sederhana justru yang paling berharga. Nggak perlu banyak basa-basi, kita bisa jadi diri sendiri," ucap Rendi.
Mereka terdiam beberapa saat. Julia memandang sejenak keluar jendela mobil, lalu kembali berucap, "Aku nggak bisa bayangin stresnya jadi kamu sebagai dokter yang pasti juga sangat sibuk."
"Stres pasti ada. Banyak. Apalagi kalau ada kasus yang rumit atau pasien yang kritis. Tanggung jawabnya besar, kadang bikin aku susah tidur. Tapi, di sisi lain, ada kepuasan tersendiri saat bisa bantu orang. Itu juga yang bikin aku bertahan dan selalu semangat."