Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #21

Bab 20 : Bayangan Ketakutan

....

PAGI itu, suasana rumah Julia terasa sunyi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang berdetak pelan. Lampu dapur menyala hangat, menciptakan nuansa nyaman di tengah kegelapan luar.

Setelah semua masakan tersaji di meja makan, Julia beranjak mencuci peralatan dapur yang kotor. Tiba-tiba, teleponnya bergetar di atas meja, menginterupsi keheningan. Nama Danu muncul di layar, dan rasa tidak enak langsung mengisi dadanya.

"Halo?"

"Julia. Aku butuh pinjam uang,” ucap Danu tanpa basa-basi.

"Berapa banyak?" Julia bertanya, langsung ke intinya.

"Dua juta," jawab Danu tanpa ragu.

"Untuk apa lagi sekarang?" tanya Julia tak habis pikir.

"Ada masalah, aku janji akan kembalikan," Danu mendesak.

"Masalah apa lagi? Kamu baru saja minta uang dua minggu lalu," Julia merasa frustrasi.

"Ya, aku tahu. Tapi ini mendesak. Tolong, Julia," suaranya terdengar putus asa.

"Aku nggak bisa terus-menerus begini, Danu," ucap Julia dengan suara lemah. "Kamu harus berhenti mengandalkan orang lain."

"Bisa tolong aku kali ini? Aku butuh uang itu sekarang," Danu memohon.

Julia terdiam sejenak, memejamkan mata, berusaha meredam emosi yang bergejolak dalam dirinya. Danu, Kakaknya, selalu muncul dengan permintaan yang sama, janji yang tak pernah ditepati. Namun, setiap kali ia mendengar suara putus asa Danu, hatinya selalu luluh.

Julia menarik napas panjang. Ia tahu kalau ia tak meminjamkan uang, Danu pasti akan meminta pada Ibunya. Ia tidak ingin Ibunya ikut terbebani masalah Danu lagi.

"Baiklah, aku pinjamkan. Jangan berusaha menelpon Ibu. Kalau kamu butuh sesuatu, langsung katakan padaku," ucap Julia.

"Ya," jawab Danu singkat.

Setelah menutup telepon, ia langsung mentransfer uang itu ke Danu.



....

Rendi baru saja mengambil sekaleng kopi dari vending machine yang terletak di sudut rumah sakit. Aroma kopi itu menyegarkan pikirannya setelah berjam-jam terjebak dalam dokumen dan catatan kasus. Sambil menyusuri lorong, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang tampak familiar baru saja lewat di kejauhan. Dia mengerutkan kening, berusaha mengingat apakah ia mengenal sosok itu. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkan dan mengabaikannya saja.

Tak lama setelah itu, Rendi kembali ke ruangannya. Ia duduk di meja yang dipenuhi berkas-berkas, mencoba menganalisis beberapa kasus yang sedang ditangani. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengejutkannya.

"Masuk!"

Pintu terbuka, dan Rendi terkejut saat melihat sosok wanita yang berdiri di ambang pintu.

Wanita itu tersenyum lebar. "Hai, Rendi," sapa wanita itu. "Lama tidak bertemu."

Suara wanita itu seolah memberi jeda pada otaknya untuk mencerna apa yang sedang ia lihat. Bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.

"Herlina?"

Herlina tersenyum cerah. "Senang rasanya bisa bertemu denganmu lagi."

"Apa kabar? Kenapa kamu di sini?" tanya Rendi dengan perasaan yang masih bingung.

Herlina menutup pintu di belakangnya dan menarik kursi yang didepan Rendi. Dengan hanya terhalang meja, mereka bisa saling menatap lebih dekat tanpa takut ada yang terlewat.

"Aku baru saja akan mulai bekerja disini," jelasnya. "Rumah sakit ini kekurangan tenaga medis dan membutuhkan spesialis dibidang ku, jadi aku diharuskan untuk bergabung. Aku melihat fotomu berjajar bersama beberapa dokter lain. Tak ku sangka, ternyata kamu juga bekerja disini."

Rendi hanya mengulas senyum. "Aku ingat kamu telah menyelesaikan pendidikan di Oxford. Selamat!" Rendi menjawab, terkesan.

Herlina memang dikenal cerdas dan berprestasi, tak heran jika rumah sakit ini ingin merekrutnya. Herlina adalah seorang dokter bedah torakoplastik yang berpengalaman dengan pendidikan yang mengesankan. Dalam mengejar pendidikannya di Oxford University, Herlina terlibat dalam penelitian dan praktik klinis yang memperkuat keterampilannya dalam menangani berbagai masalah medis yang berkaitan dengan organ thorax, termasuk paru-paru, jantung, dan organ lainnya dalam rongga dada.

"Terima kasih. Aku sangat antusias untuk memulai hari pertamaku disini," Herlina berkata sambil memperlihatkan senyuman yang memikat. "Untuk kedepannya, bisa jadi kita akan terlibat kerja sama."

Rendi merasa atmosfer diruangan itu terasa menekan dan canggung. Meski mereka memiliki hubungan profesional yang baik, kenangan masa lalu dan ketidakpastian akan perasaan mereka membuat suasana terasa rumit.

"Kerja sama yang baik tentu akan membawa manfaat besar. Terutama bagi pasien dan keberlangsungan rumah sakit untuk menjadi lebih baik," Rendi berusaha terdengar profesional, walau pikirannya dipenuhi oleh berbagai kenangan yang tumpang tindih.

Herlina mengangguk menampakkan semangatnya. "Mari kita buktikan bahwa kita bisa memberikan kontribusi yang berarti di sini."

Mereka saling menatap, seolah ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan satu sama lain. Ada sebuah makna yang tersirat dibalik sorot mata yang mereka pancarkan. Keanggunan dan kepercayaan diri Herlina masih sama, tetapi Rendi tahu bahwa kehadiran Herlina mungkin saja membawa sesuatu yang lain ke dalam hidupnya. Dan Rendi takut apakah ia bisa menjalani hari-harinya dengan baik saat menyadari ada orang lama yang kembali masuk ke dalam hidupnya.



Lihat selengkapnya