Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia šŸ»ā€ā„ļø
Chapter #23

Bab 22 : Tak Pernah Cukup

....

MALAM itu, Rendi duduk di ruang VIP salah satu restoran di pusat kota, berusaha menahan napas saat Evelyn berbincang hangat dengan kawan lamanya, Vera. Makan malam bersama ini awalnya hanya tampak seperti undangan biasa, tapi begitu tau ada kehadiran Hendric dan nama itu selalu disebut, Rendi langsung merasa malam ini akan menjadi ajang perbandingan yang tak asing lagi baginya.

Hendric, putra Vera, duduk dengan percaya diri di seberang Rendi. Ia seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang telah menyelesaikan studi lanjutannya di luar negeri, dan kini tengah bekerja di salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta. Rendi tak pernah memiliki masalah dengan Hendric secara pribadiā€”pria itu bahkan cukup ramahā€”tapi yang mengganggunya adalah pandangan Evelyn, Ibunya. Tatapan itu selalu sama setiap kali dia mendengar prestasi orang lain: penuh harap dan sedikit kecewa, seolah-olah apa yang sudah Rendi capai selama ini belum pernah benar-benar memuaskannya.

"Dokter kardiologi? Wah, benar-benar bidang yang penting sekali. Di negara kita sendiri hanya ada sekitar seribu lima ratus dokter dalam bidang itu. Tidak sebanding dengan banyaknya kasus penyakit jantung itu sendiri, apalagi di daerah-daerah terpencil. Jadi, memiliki dokter kardiologi yang kompeten dan berpengalaman seperti kamu bisa menjadi berkah bagi banyak orang. Dan di usiamu yang masih muda, sudah banyak penghargaan yang kamu raih, Hendric. Sangat mengesankan."

Vera tersenyum lebar. "Dia juga baru saja bergabung bersama tim peneliti di rumah sakitnya. Bahkan, dia sudah dipercaya menangani beberapa kasus besar, bahkan yang melibatkan pasien-pasien penting."

"Terdengar hebat," ucap Evelyn.

Rendi duduk diam di kursinya, menatap gelas air di depannya. Ia mendengarkan, tapi pikirannya tak sepenuhnya hadir. Dia merasa terjebak dalam percakapan yang tak pernah ingin dia ikuti. Di satu sisi, ia merasa senang dengan pencapaian Hendric, tapi di sisi lain, ada rasa pahit yang tak bisa ia abaikan. Ia sudah menjadi dokter spesialis bedah syaraf di rumah sakit paling bergengsi di Bandungā€”sesuatu yang seharusnya membuat Evelyn banggaā€”namun rasanya, Ibunya selalu menemukan seseorang yang lebih baik untuk dijadikan patokan. Akan selalu ada orang lain yang lebih baik, lebih cemerlangā€”dan hari ini, orang itu adalah Hendric.

"Jadi, Hendric," kata Evelyn dengan senyum lebarnya, "Apa proyek penelitian mu yang terbaru itu? Kudengar kamu baru saja pulang dari Amerika?"

Hendric mengangguk ringan, tampak rendah hati namun penuh keyakinan. "Ya, Tante. Saya baru menyelesaikan fellowship di kardiologi pediatrik di Amerika. Sekarang Saya sedang bergabung bersama tim penelitian di Jakarta untuk mengembangkan metode terapi baru yang lebih efektif untuk menangani penyakit jantung bawaan pada anak-anak. Banyak anak dengan penyakit jantung bawaan memerlukan perawatan khusus, dan kami ingin memastikan bahwa mereka mendapatkan terapi yang terbaik dan paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan penelitian ini, kami berharap bisa memberikan solusi yang lebih baik. Masih dalam tahap uji klinis, tapi hasil awalnya cukup menjanjikan."

"Terapi ini pasti akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas hidup mereka dan memberikan harapan baru bagi banyak keluarga," ucap Evelyn.

Vera langsung menimpali dengan bangga. "Hendric memang selalu punya semangat untuk belajar dan berkembang."

Evelyn menatap Hendric dengan kagum. "Itu yang selalu membuatku kagum padamu, Hendric. Tidak hanya sukses, tapi juga membawa perubahan besar. Rendi, kamu dengar itu?"

Rendi tersenyum tipis, mencoba tidak memperlihatkan perasaannya. "Ya, Ma, aku dengar."

Evelyn melirik Rendi sejenak sebelum berkata, "Mungkin kamu bisa belajar sesuatu dari Hendric. Dia punya pendekatan yang inovatif di bidangnya. Kamu sudah berada di puncak karirmu, tapi selalu ada ruang untuk berkembang, bukan?ā€

Rendi tersenyum tipis. "Iya, Ma. Selalu ada hal baru yang bisa dipelajari," jawabnya.

Hendric, yang tampaknya tak menyadari ketegangan yang dirasakan Rendi, tersenyum sambil berkata, "Kamu juga hebat, Mas. Bidang bedah syaraf itu berat, lho."

Rendi hanya mengangguk pelan. "Terima kasih, Hendric."

"Mas Rendi pasti juga sibuk dengan banyak hal. Bedah syaraf itu bidang yang sangat kompleks dan menuntut banyak waktu," ucap Hendric.

Evelyn tersenyum, tapi jelas nada suaranya tetap terdengar membandingkan. "Tentu, tapi aku berharap Rendi bisa lebih sering terlibat dalam proyek penelitian seperti yang kamu lakukan. Dunia kedokteran sekarang berkembang begitu cepat. Setiap dokter muda harus terus mengejar kesempatan untuk belajar hal-hal baru."

Vera menyela dengan suara lembut, seolah ingin menghindari ketegangan, "Rendi juga luar biasa, Evelyn. Menjadi spesialis bedah syaraf bukan hal yang mudah. Aku sering mendengar orang memujinya di rumah sakit."

Namun, Evelyn tak sepenuhnya memperhatikan. Matanya tetap tertuju pada Hendric, seolah-olah dia adalah sosok ideal yang selalu dia inginkan untuk Rendi. "Ya, ya, tentu saja, tapi tetap saja, aku ingin Rendi melihat lebih jauh. Kalau dia bisa belajar dari dokter-dokter muda seperti Hendric, mungkin dia bisa mencapai lebih banyak lagi."

Rendi meneguk airnya, berusaha menenangkan diri. Di hadapannya, Hendric tetap tenang, tidak bermaksud sombong, tapi kehadirannya dan segala prestasinya menjadi simbol dari ekspektasi yang terlalu tinggiā€”ekspektasi yang Ibunya terus dorong padanya bahkan sejak ia masih kecil.

Suasana restoran yang seharusnya hangat dan nyaman kini terasa seperti penjara. Rendi melirik jam di pergelangan tangannya, berharap makan malam ini segera berakhir. Dia menghela napas dalam hati, menyadari bahwa tak peduli seberapa keras dia berusaha, ekspektasi Evelyn selalu lebih tinggi dari apa yang bisa ia capai.



....

Setelah makan malam yang panjang dan penuh dengan obrolan yang seakan tidak berujung, Vera dan Hendric berpamitan.

"Terima kasih atas malam ini, Tante Evelyn, Mas Rendi," kata Hendric dengan senyum bersahabat. "Semoga kita bisa bertemu lagi dalam waktu dekat."

Vera menambahkan, "Iya, terima kasih, Evelyn. Kami sangat senang bisa bertemu dengan kalian."

"Ah, sama-sama, Vera. Selalu menyenangkan bertemu dengan kalian," jawab Evelyn sambil tersenyum lebar.

Lihat selengkapnya