....
MALAM itu, suasana tenang menyelimuti kota. Julia sedang berada di dapur, sibuk mencampurkan bahan-bahan untuk membuat kue muffin. Kue favoritnya. Ketika ia sedang menuang adonan ke dalam cetakan, ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk.
Julia menyeka tangan dengan handuk dapur dan melihat layar ponselnya. Nama Rendi tertera di layar, dan Julia dengan cepat mengangkat panggilan itu, merasakan kalau hatinya kini berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Malam, Julia. Apa aku mengganggumu? Kamu pasti sedang sibuk, ya, malam ini?"
Julia tersenyum. "Malam, Rendi! Tidak sibuk. Aku hanya sedang menghabiskan waktu di dapur dengan membuat kue muffin. Baru saja mulai mencampur bahan-bahannya. Bagaimana denganmu? Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Aku baru saja selesai makan malam dan sekarang bersantai sambil menonton film. Tapi, membuat kue muffin terdengar jauh lebih menarik. Kamu sering membuat kue di rumah?"
"Ya, lumayan. Aku memang suka sekali membuat kue. Aku juga sering mencoba beberapa resep kue baru. Kamu sendiri pernah coba buat kue atau camilan sendiri?"
"Kadang-kadang, aku mencoba-coba di dapur, tapi lebih sering gagal daripada berhasil. Terakhir kali aku mencoba membuat pizza, tapi hasilnya lebih mirip dengan kue roti. Jadi, aku menyerah dan tidak lagi mencoba hal-hal sepertu itu. Rasanya, lebih praktis kalau beli saja. Atau mungkin aku perlu tips dari seorang ahli seperti kamu!"
Julia tertawa kecil mendengar hal itu. "Membeli makanan dan hal lain yang kita mau memang lebih praktis, tapi rasanya akan berbeda jika kita membuat sesuatu itu sendiri. Seperti ada kebanggan kecil kalau apa yang kita buat atau berikan kepada orang lain berhasil ataupun diterima dengan baik. Aku bisa memberikan beberapa tips jika kamu ingin mencoba lagi. Aku bisa memberikan resep dan langkah yang tepat sampai kamu bisa berhasil membuat apa yang akan kamu buat."
"Kedengarannya bagus! Bagaimana kalau di lain waktu kamu bantu aku mencoba membuat pizza lagi?"
"Tentu saja. Aku akan siap membantumu."
"Baiklah. Senang mendengarnya. Kalau begitu, kamu bisa lanjutkan membuat kue muffin mu. Kapan-kapan kalau kamu buat lagi, aku mau mencicipinya!"
"Besok pagi. Aku akan berikan kue muffin buatanku ini. Berikan alamatmu. Besok akan aku kirimkan. Kebetulan aku membuat sedikit lebih banyak untuk dibagikan ke teman-teman kantor."
"Besok saja. Aku akan mengambilnya langsung ke rumahmu sekalian menjemputmu untuk pergi bekerja. Tidak ada penolakan. Kalau begitu, selamat malam! Sampai jumpa besok pagi!"
Julia padahal ingin menolak, tapi sepertinya Rendi bisa membaca apa isi pikirannya. Jadi, Julia bisa menjawab singkat.
"Baiklah. Selamat malam!"
Julia meletakkan ponselnya dan kembali fokus menuangkan adonan muffin yang sudah jadi ke cetakan. Malam ini entah mengapa rasanya sedikit istimewa karena bisa berbagi momen kecil dengan Rendi dan merasakan kedekatan melalui hal-hal sederhana.
....
Pagi hari datang dengan cepat. Julia terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui tirai jendela. Setelah mandi dan berpakaian, dia menghabiskan waktu di dapur untuk menyiapkan sarapan bersama Sinta. Rutinitas sarapan bersama mereka lakukan di setiap pagi. Hanya saja, dimeja makan itu ada satu bangku kosong yang tidak pernah terisi.
Tak lama kemudian, terdengar klakson mobil. Julia berpamitan pada Ayah dan Ibunya.
"Hati-hati dijalan, Sayang!" ujar Sinta.
"Iya, Bu!" teriak Julia.
Julia pun bergegas menemui Rendi, mengulas senyum saat ia masuk ke dalam mobil.
"Hei, cantik banget hari ini," ucap Rendi.
Julia menyerahkan kotak kue di tangannya. "Terima kasih. Ini. Seperti yang aku janjiin semalam, muffin buatan aku sendiri."
Rendi menerima kotak itu dengan antusias. "Wah, kamu nggak lupa ternyata! Aku penasaran dari semalam, enak nggak, ya, muffin buatan seorang penulis mode?" candanya ringan, lalu membuka kotak kue.