Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #9

Bab 8 : Labirin Waktu

....

JULIA melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu ruangannya. Jarum pendek sudah mendekati angka lima, dan jarum panjang terus bergerak maju, seolah mengejek waktu yang semakin menipis. Matanya melebar, hati mulai gelisah.

"Astaga, aku terlambat!" gumamnya pelan sambil segera merapikan mejanya.

Dia bangkit dari kursinya dengan cepat, meraih tas dan jaket yang tergantung di sandaran. Bona dan Caitlin masih duduk sambil mengobrol.

"Eh, Ju! Mau ke mana buru-buru banget?" tanya Bona, yang sedang asyik mengobrol dengan Caitlin di meja sebelah.

"Aku ada janji sama Rendi. Duh, bakal macet banget pasti."

Caitlin tersenyum simpul. "Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Bawa motor pasti lebih cepet, kok!"

"Semoga aja," balas Julia dengan cemas. "Duluan, ya!"

Begitu sampai di parkiran, Julia meraih helmnya dan memakainya buru-buru. Ia menyalakan mesin motor, bunyi derunya menggema di area parkir yang hampir kosong.

Keluar dari gerbang kantor, Julia segera dihadapkan pada kenyataan yang tak diinginkan—jalan utama padat. Barisan kendaraan memenuhi sepanjang jalan, suara klakson terdengar memekakkan telinga, menambah rasa frustrasi yang sudah menumpuk. Ia menggenggam setang motor lebih erat, berusaha menyelip di antara mobil-mobil yang berhenti.

Kemacetan semakin parah saat mendekati lampu merah. Kendaraan nyaris tak bergerak. Julia memajukan motornya perlahan, mencoba mencari celah di antara deretan mobil yang rapat. Sesekali, ia menarik napas panjang, merasa waktu terus berlari meninggalkannya.

Saat lampu hijau menyala, Julia segera melajukan motornya, tapi arus kendaraan di depannya masih lambat. Jalanan macet tak kunjung berkurang, membuat usahanya untuk tiba tepat waktu terasa sia-sia. Kafe tempat ia akan bertemu dengan Rendi masih jauh, dan tiap detik yang berlalu semakin membuatnya merasa tertekan.

Sesampainya di jalan utama yang sedikit lebih longgar, Julia mencoba mempercepat laju motor, tapi pikirannya tetap cemas.



....

Julia tiba di kafe, ia langsung mencari tempat parkir dan segera mematikan mesin motor. Dia melepas helmnya dan berjalan masuk ke dalam kafe. Dadanya masih sesak karena tergesa, tapi dia berusaha untuk tetap tenang.

Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada sudut ruangan, di mana Rendi sudah duduk dengan ekspresi datar, menatap ponselnya. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum. Julia menghampiri dengan langkah yang sedikit ragu sambil mengatur napas. Ia tahu betul bahwa Rendi tidak suka menunggu.

"Maaf banget, Ren," ujar Julia sambil menarik napas dalam-dalam setelah sampai di meja. "Jalanan macet parah. Aku buru-buru, tapi tetap aja-"

"Kamu terlambat," ucap Rendi mengangkat wajahnya dari ponsel dan menatap Julia.

Julia tersenyum canggung, "Iya, aku tahu. Maaf ya, Ren. Tapi macetnya gila banget tadi. Aku nggak nyangka bakal separah itu."

Rendi meletakkan ponselnya di meja. "Kamu selalu punya alasan, Ju. Selalu ada macet, ada pekerjaan, atau hal lain. Padahal, aku juga sibuk. Aku bisa datang tepat waktu."

Julia duduk dengan sedikit kikuk. "Aku tahu. Tapi, aku benar-benar berusaha, Ren. Ini, 'kan, cuma telat sedikit..."

"Cuma telat sedikit?" potong Rendi, nadanya terdengar lebih dingin. "Kamu tahu nggak, berapa kali aku sudah bolak-balik dirumah sakit hari ini? Masih sempat ke beberapa pasien, tapi aku tetap datang tepat waktu. Bukan karena aku nggak sibuk, tapi karena aku menghargai waktu kita."

Julia menghela napas, merasa situasi mulai sedikit memanas. "Aku juga menghargai waktu kita. Tapi, hari ini benar-benar di luar kendali. Aku lupa kalau ada janji. Dan juga kamu tahu gimana macetnya kota ini, 'kan?"

Rendi menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil, seakan meredakan ketegangan. "Ya, aku tahu. Tapi tetap aja... aku merasa kamu kadang kurang serius. Kamu bisa datang lebih awal kalau kamu tahu bakal macet. Semua itu tergantung kamu. Mau apa enggak. Dan kayaknya ini bukan pertama kalinya, ya?"

Julia menatap Rendi dengan tatapan bingung. "Maksud kamu?"

"Kamu sering telat, Ju. Ini bukan hal baru," jawab Rendi, nada bicaranya mulai lebih tenang tapi jelas masih ada sisa kesal. "Dulu waktu kita awal-awal pacaran, aku selalu nunggu. Kamu ingat nggak? Dan aku nggak pernah ngomong apa-apa. Tapi makin lama... yah, aku mulai merasa kalau kamu mungkin memang nggak peduli dengan waktu kita."

Lihat selengkapnya