....
SUASANA rumah sakit terasa ramai, dengan langkah-langkah cepat para tenaga medis dan suara alat medis yang berinteraksi. Bau antiseptik dan kebersihan yang menyengat memenuhi udara, menciptakan suasana yang steril namun penuh harapan. Julia berdiri di dekat meja resepsionis, merasa sedikit canggung di tengah kesibukan yang melanda. Dia mengalihkan pandangannya ke arah petugas wanita yang sedang mengetik di komputer.
Dengan nada sopan, Julia bertanya, "Permisi, apakah Dokter Rendi ada?"
Petugas itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah, meskipun ada kelelahan di matanya.
"Oh, dia sedang dalam jadwal operasi yang cukup mendesak. Mungkin Anda bisa menunggu. Dia pasti akan segera kembali," jawab petugas itu.
Julia mengangguk. "Baik. Terimakasih."
Dengan langkah pelan, dia menuju lorong ruang tunggu, yang dikelilingi dinding berwarna putih dan kursi-kursi besi yang berjajar rapi.
Julia sudah menunggu cukup lama. Jam menunjukkan hampir satu sore, dan meskipun rasa sabar mulai menipis, dia tetap tersenyum membayangkan reaksi Rendi saat melihatnya. Julia kembali teringat betapa Rendi selalu menyukai kue muffin buatan tangannya.
Ketika Rendi akhirnya muncul, ekspresi wajahnya berubah dari terkejut menjadi cerah.
"Kamu di sini? Kenapa tidak bilang kalau mau datang?" tanya Rendi, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Julia mengangkat kotak bekal yang dibawanya. "Aku pikir aku bisa membawakan mu makan siang. Aku ingin memastikan kalau kamu makan dengan baik. Aku sempat mendengar dari petugas bahwa kamu sedang ada jadwal operasi."
Rendi mengangguk. "Ya. Aku baru saja selesai. Terima kasih sudah menunggu," katanya, meraih tangan Julia dan mengajaknya berdiri. "Ayo, kita bicara di ruanganku."
Dengan senyuman, Rendi menggandeng tangan Julia dan membawa ke ruang kerjanya. Ruangan itu cukup luas, dengan meja dokter yang tertata rapi dan foto-foto suasana kerja yang menggantung di dinding. Pemandangan luar jendela yang menghadap ke taman rumah sakit memberi kesan tenang di tengah kesibukan.
"Ini ruang kerjaku," kata Rendi sambil menyuruh Julia duduk di kursi yang nyaman di depan meja. "Maaf sudah membuatmu menunggu."
"Tidak masalah. Melihatmu saja aku sudah sangat senang," ucap Julia sambil menata makanan itu di atas meja.
"Kamu tahu? Ini benar-benar sebuah kejutan. Tidak banyak yang mau repot-repot datang ke sini untuk sekedar menemui ku,” ujar Rendi dengan senyuman lebar.
Julia mengeluarkan kotak bekal dan juga kue muffin. Mata Rendi berbinar.
"Kamu bikin muffin?" tanya Rendi antusias.
"Iya. Kamu bilang kamu rindu kue muffin buatanku. Jadi, hutangku lunas kali ini," ucap Julia.
Rendi terkekeh pelan. "Terima kasih sudah mau repot-repot membuatkannya untukku."
Julia tersenyum. Ia menaruh banyak harapan pada kue muffin yang dibawanya. Ia ingin kue itu bisa kembali mengingatkan pada masa-masa dulu dan menghangatkan hubungan mereka yang akhir-akhir ini terasa renggang.
Mereka pun menyantap bekal dengan suasana yang santai. Julia berbagi cerita tentang hari-harinya, berharap bisa mengalihkan perhatian Rendi dari kesibukan dan tekanan di rumah sakit. Namun, suasana nyaman itu segera terganggu saat seorang perawat bernama Irish memasuki ruangan.
"Izin, Dokter Rendi. Ini berkas yang perlu Anda tanda tangani," kata Perawat Irish sambil mengulurkan tumpukan dokumen.
Saat Irish menatap Rendi, Julia menangkap tatapan lembut yang seolah menyimpan ketertarikan lebih.
Rendi menerima berkas tersebut, tetapi sepertinya dia tidak terlalu terburu-buru untuk menandatanganinya. "Terima kasih, Irish. Tapi sebenarnya, Saya masih bisa menangani ini nanti. Kamu boleh pergi."
"Baik. Kalau begitu Saya permisi," ucap Perawat Irish dan keluar dari ruangan.
Saat Irish hendak pergi, pandangan mereka sempat bertemu. Julia merasakan sejumput ketidaknyamanan melintasi hatinya. Dia berusaha tetap tenang, tetapi perasaannya menjadi campur aduk.
Rendi menatap Julia, seolah membaca kegelisahannya. Dengan nada menggoda, Rendi bertanya. "Kenapa, sayang? Cemburu?"
"Aku cuma…" Julia terdiam sejenak, bingung. "Enggak. Aku…"
Julia merasa sulit untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan, tetapi Rendi sudah cukup tahu cara memanfaatkan ketidakpastian itu.