Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #14

Bab 13 : Kilau Di Balik Layar

....

SUASANA rumah sakit terasa ramai, dengan langkah-langkah cepat para tenaga medis dan suara alat medis yang berinteraksi. Bau antiseptik dan kebersihan yang menyengat memenuhi udara, menciptakan suasana yang steril namun penuh harapan. Julia berdiri di dekat meja resepsionis, merasa sedikit canggung di tengah kesibukan yang melanda. Dia mengalihkan pandangannya ke arah suster yang sedang mengetik di komputer.

Dengan nada sopan, Julia bertanya, "Permisi, apakah Dokter Rendi ada?"

Suster itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah, meskipun ada kelelahan di matanya. "Oh, dia sedang dalam jadwal operasi yang cukup mendesak. Mungkin Anda bisa menunggu di ruang tunggu. Dia pasti akan segera kembali," jawab suster sambil menunjukkan arah menuju ruang tunggu.

Julia mengangguk. "Terimakasih."

Dengan langkah pelan, dia menuju lorong ruang tunggu, yang dikelilingi dinding berwarna putih dan kursi-kursi besi yang berjajar rapi.

Julia sudah menunggu cukup lama. Jam menunjukkan hampir satu sore, dan meskipun rasa sabar mulai menipis, dia tetap tersenyum membayangkan reaksi Rendi saat melihatnya. Dia sudah berusaha keras untuk mendapatkan izin dari atasan demi menyempatkan waktu bertemu pacarnya yang sibuk. Ia kembali teringat betapa Rendi selalu menyukai kue buatan tangannya. Setiap gigitan muffin itu terasa penuh harapan, seolah bisa menghangatkan hubungan mereka yang akhir-akhir ini terasa renggang.

Ketika Rendi akhirnya muncul, ekspresi wajahnya berubah dari terkejut menjadi cerah. "Kamu di sini? Kenapa tidak bilang sebelumnya?" tanyanya, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Julia mengangkat kotak bekal yang dibawanya. "Aku pikir aku bisa membawakanmu sedikit makanan. Dan ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Aku sempat mendengar dari resepsionis bahwa kamu sedang ada jadwal operasi."

Rendi mengangguk. "Ya. Aku baru saja selesai. Terima kasih sudah menunggu," katanya, meraih tangan Julia dan mengajaknya berdiri. "Ayo, kita bicara di ruanganku."

Dengan senyuman, Rendi menggandeng tangan Julia dan membawa ke ruang kerjanya. Ruangan itu cukup luas, dengan meja dokter yang tertata rapi dan foto-foto suasana kerja yang menggantung di dinding. Pemandangan luar jendela yang menghadap ke taman rumah sakit memberi kesan tenang di tengah kesibukan.

"Ini ruang kerjaku," kata Rendi sambil menyuruh Julia duduk di kursi yang nyaman di depan meja. "Maaf sudah membuatmu menunggu."

"Tidak masalah. Melihatmu saja aku sudah sangat senang," ucap Julia sambil menata makanan itu di atas meja.

"Kamu tahu? Ini adalah kejutan yang menyenangkan. Tidak banyak yang mau repot-repot datang ke sini,” ujar Rendi dengan senyuman lebar.

Mereka pun menyantap bekal dengan suasana yang santai. Julia berbagi cerita tentang hari-harinya, berharap bisa mengalihkan perhatian Rendi dari kesibukan dan tekanan di rumah sakit. Namun, suasana nyaman itu segera terganggu saat seorang perawat bernama Irish memasuki ruangan.

"Izin, Dokter Rendi. Ini berkas yang perlu Anda tanda tangani," kata Perawat Irish sambil mengulurkan tumpukan dokumen.

Saat Irish menatap Rendi, Julia menangkap tatapan lembut yang seolah menyimpan ketertarikan lebih.

Rendi menerima berkas tersebut, tetapi sepertinya dia tidak terlalu terburu-buru untuk menandatanganinya. "Terima kasih, Irish. Tapi, Saya masih bisa menangani ini nanti. Kamu boleh pergi."

"Baik. Kalau begitu Saya permisi," ucap Perawat Irish dan keluar dari ruangan.

Saat Irish hendak pergi, pandangan mereka sempat bertemu. Julia merasakan sejumput ketidaknyamanan melintasi hatinya. Dia berusaha tetap tenang, tetapi perasaannya menjadi campur aduk.

Rendi menatap Julia, seolah membaca kegelisahannya. "Kenapa, sayang? Cemburu?" tanyanya, dengan nada menggoda yang seakan mempermainkan perasaannya.

"Aku hanya…" Julia terdiam sejenak, berusaha meredakan rasa cemburunya. "Tidak, tidak. Hanya saja…"

Julia merasa sulit untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan, tetapi Rendi sudah cukup tahu cara memanfaatkan ketidakpastian itu.

"Dengar, Julia. Irish itu hanya seorang perawat. Kamu tahu betapa banyak orang di sini yang harus terlibat satu sama lain. Jangan terlalu memikirkan hal kecil seperti itu," ucap Rendi.

Senyum di wajahnya tampak meyakinkan, tetapi ada sesuatu dalam cara dia menatap Julia yang membuatnya merasa terjepit. Rendi kemudian melanjutkan, "Kamu tahu, kamu tidak perlu cemburu. Hubungan kita lebih penting daripada hal-hal sepele seperti ini. Kamu hanya perlu percaya padaku."

Tepat di saat itu, Rendi beralih untuk mengambil kue muffin yang dibawa Julia dan berusaha mencairkan suasana.

"Lagipula, muffin ini terlihat enak sekali! Kamu selalu tahu cara untuk membuat hariku lebih baik," tambahnya dengan senyum yang manis, seolah-olah ingin mengalihkan perhatian Julia dari kekhawatirannya.

Di satu sisi, dia ingin percaya pada kata-kata Rendi, tetapi di sisi lain, dia merasakan ada tekanan untuk tidak membahas kekhawatirannya lebih lanjut. Seolah-olah, Rendi ingin menanamkan pemikiran bahwa perasaannya tidak valid, bahwa dia seharusnya merasa bersyukur karena Rendi sudah ada di hidupnya dan tidak perlu mempermasalahkan hal-hal kecil.

"Cobalah untuk tidak overthinking, okay?" Rendi menambahkan, meletakkan tangannya di atas tangan Julia. "Kita sudah melalui banyak hal bersama. Jangan biarkan sesuatu yang tidak berarti merusak apa yang kita miliki."

Mendengar semua itu, Julia merasa hatinya bergetar. Rendi memang memiliki cara untuk membuatnya merasa bersalah karena meragukan komitmen mereka. Alih-alih merasa lebih baik, Julia malah semakin ragu. Rendi telah membalikkan fokus percakapan, membuatnya merasa seolah-olah dia yang salah karena memiliki perasaan tersebut.


Lihat selengkapnya