Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #18

Bab 17 : Belenggu Keraguan

....

LANGIT Kota Bandung diselimuti bintang-bintang yang jarang terlihat. Udara terasa sejuk, sementara angin malam berhembus lembut, membawa aroma basah tanah setelah hujan sore. Julia duduk di balkon apartemen Rendi, memandangi lampu-lampu kota di kejauhan. Di sebelahnya, Rendi juga diam, seakan menunggu waktu yang tepat untuk bicara.

"Kamu kenapa, Ju?" suara Rendi memecah kesunyian. "Kamu kelihatan murung."

Julia menghela napas panjang. "Nggak apa-apa. Cuma... banyak yang dipikirin aja."

Rendi tersenyum, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangan hangatnya menggenggam tangan Julia, membuatnya terkejut dengan sentuhan yang lembut tapi penuh ketegasan.

"Aku tahu ini mungkin mendadak," kata Rendi, suaranya serius namun lembut, "Tapi, aku sudah lama memikirkannya."

Julia menoleh, menatap mata Rendi yang dalam dan penuh keyakinan. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuatnya merasa kecil tapi sekaligus diinginkan.

"Ada apa?" tanya Julia, meski hatinya sudah sedikit berdebar.

Rendi menghela napas, lalu dengan gerakan perlahan, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Waktu seakan berhenti saat Rendi berlutut di hadapan Julia, membuka kotak tersebut dan memperlihatkan cincin berkilauan di dalamnya.

"Julia," suara Rendi terdengar tegas, namun mengandung getaran penuh harap. "Maukah kamu menikah denganku?"

Untuk sejenak, Julia merasa dunianya berputar. Lamaran itu seharusnya menjadi momen yang paling membahagiakan. Tetapi, perasaan bimbang menghantamnya dengan keras. Pikirannya justru kembali ke rumah yang penuh dengan masalah. Gambaran keluarganya terlintas satu per satu — Sinta, Ibunya yang tak pernah berhenti bekerja keras sebagai tukang jahit demi mencukupi kebutuhan mereka, dan Norman, Ayahnya yang kini tak lagi bisa bekerja setelah kecelakaan. Tapi yang paling menghantui pikirannya adalah Danu, Kakaknya yang selalu pulang dalam keadaan mabuk, membuat kekacauan dan menghancurkan ketenangan mereka.

Hati Julia diliputi keraguan. Bagaimana bisa ia membayangkan membangun hidup baru bersama Rendi, sementara keluarganya sendiri berantakan? Bagaimana jika Danu suatu hari datang mengetuk pintu mereka, mabuk dan menuntut uang, seperti yang sering ia lakukan di rumah? Bagaimana Rendi, yang hidup dalam keluarga sempurna dan penuh kesuksesan, bisa menerima kekacauan yang selalu mengiringi hidup Julia?

Julia menggigit bibirnya pelan, matanya memandangi cincin di tangan Rendi yang berkilauan di bawah sinar lampu yang temaram. Cincin itu cantik, seperti janji masa depan yang selalu Rendi tawarkan. Namun, bayangan Danu — Kakaknya yang selalu gagal menjaga keluarganya tetap utuh — membuatnya merasa berat untuk menerima. Bagaimana jika ia pun membawa ketidakbahagiaan keluarganya ke dalam hidup Rendi?

"Kamu yakin?" Julia berbisik, suaranya bergetar. "Kamu yakin ingin menikahi aku? Keluargaku tidak seperti keluargamu. Banyak hal yang tidak sama. Apalagi jika sudah menyangkut Danu. Keluargaku… Mereka tidak sempurna. Danu selalu membuat masalah, dan kadang aku merasa malu dengan semua ini. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam kekacauan ini."

"Julia, keluargaku juga tidak sempurna. Setiap keluarga pasti punya masalah. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya bersama," Rendi menjawab, mencoba memberikan kepercayaan diri pada Julia.

"Tapi, aku tidak ingin kamu merasa tertekan atau terbebani," Julia berkata, wajahnya penuh keraguan. "Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga semuanya tetap berjalan, tapi kadang aku merasa aku gagal. Aku bahkan tidak yakin bisa memberikan yang terbaik untukmu."

"Jangan berpikir seperti itu. Kita semua memiliki kekurangan, dan itu tidak mengurangi nilai kita," Rendi menjelaskan.

Tapi, ada hal lain yang jelas mengganggu pikiran Julia. Gambaran wajah Evelyn, dengan pandangan dinginnya, langsung terbayang di benaknya. Sejak pertemuan terakhir dengan Evelyn, hati Julia selalu diliputi kegelisahan. Kata-kata sarkastik Ibu Rendi terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya mempertanyakan segalanya—tentang dirinya, tentang Rendi, tentang masa depan mereka. Serta kata-kata penuh sindiran yang sering dilontarkan Evelyn mengoyak keyakinannya, tak mungkin Julia dapat mengabaikan hal itu begitu saja.

"Lalu bagaimana dengan Ibumu. Apakah kamu juga yakin ia akan setuju?" tanya Julia. Hatinya berdesir.

Rendi terdiam sejenak, menatap Julia dengan tatapan yang intens. "Aku tahu Mama mungkin keras padamu. Tapi, kita mungkin bisa mengubah apa yang selama ini Mama pikirkan tentang kamu. Bahwa Mama selama ini salah menilai kamu."

Julia menarik napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. "Rendi, aku... aku nggak yakin. Aku merasa selalu dibandingkan, selalu dihakimi. Ibumu... dia nggak suka aku."

Rendi mendekat, masih memegang cincin itu, wajahnya menunjukkan kesungguhan yang mendalam. "Aku tahu ini nggak mudah, Ju. Tapi, kita bisa hadapi ini sama-sama. Aku nggak peduli apa yang dikatakan Mama. Aku hanya ingin kamu."

Julia merasakan hatinya bertarung antara cinta yang ia rasakan untuk Rendi dan ketakutan yang membayangi karena Evelyn. Evelyn bukan hanya sekadar Ibu yang keras; dia adalah simbol kekuatan yang tak tertandingi, seseorang yang Julia tahu akan terus mempengaruhi hidup mereka jika ia melanjutkan hubungan ini.

"Mungkin aku nggak akan pernah bisa memenuhi harapan keluargamu," suara Julia terdengar lirih, matanya mulai berkaca-kaca. "Dan itu yang membuat aku takut."

Rendi berdiri, mendekat, lalu memegang kedua bahu Julia. "Dengarkan aku. Kamu nggak harus membuktikan apa-apa ke keluargaku. Kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri. Dan aku memilih kamu, bukan karena Mama atau siapa pun, tapi karena aku yakin dengan kita."

Lihat selengkapnya