....
KEESOKAN harinya, Julia duduk di tepi tempat tidur, memandangi layar ponselnya yang kosong. Beberapa kali ia menggulirkan daftar kontaknya, menatap nama Rendi, tapi tidak berani menekan ikon panggil. Perasaan bersalah masih menghantuinya sejak kemarin, dan ia tahu bahwa kata-kata maaf tidak akan mudah diterima. Namun, Julia memutuskan untuk menemuinya langsung.
Dengan hati yang berat, ia tiba di apartemen Rendi pagi hari sebelum berangkat kerja. Langit mendung seolah menggambarkan suasana hatinya. Julia berdiri di depan pintu, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, dan keraguan mulai menyusup ke dalam pikirannya—apakah Rendi akan bersedia mendengarnya?
Saat pintu terbuka, Rendi muncul dengan wajah yang dingin dan tanpa senyuman, berbeda dari biasanya. Julia bisa merasakan jarak emosional yang kian nyata di antara mereka. Dia mencoba tersenyum kecil, meski tahu itu tak akan menghapus luka yang sudah ia perbuat.
"Rendi, aku tidak akan pernah bosan meminta maaf. Maaf karena sudah mengingkari janji," ucap Julia pelan.
Rendi tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap sama. Dingin dan menusuk. "Aku tahu kamu sibuk, Julia. Tapi aku juga berharap setidaknya kamu bisa menghargai sesuatu yang berarti buat kita."
"Aku tahu, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud mengabaikan mu atau membuat kamu kecewa... Aku hanya... semalam terlalu mendadak," katanya dengan penuh rasa bersalah.
Rendi hanya menatapnya dalam diam, lalu memalingkan pandangannya sejenak. Julia merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka, dan meskipun Rendi tidak mengatakan lebih banyak, dinginnya sikap terasa jelas.
Julia menatap Rendi, berharap bisa melihat tanda-tanda bahwa permintaan maafnya bisa diterima, namun yang ia dapati hanyalah ekspresi yang tetap datar.
"Aku benar-benar menyesal, Rendi. Aku tahu acara itu penting buatmu, buat kita. Aku sudah mencoba menelepon sebelum pergi, tapi..." Julia menghentikan kalimatnya, merasa lelah dan frustrasi dengan penjelasan yang mungkin terdengar seperti alasan semata.
Rendi menghela napas panjang, menatap Julia dengan dingin. "Tapi pada akhirnya, kamu tetap memilih pergi. Kamu selalu bilang, hubungan kita penting. Tapi, aku tidak tahu lagi apakah aku bisa percaya dengan itu."
Julia menundukkan kepala, berusaha menahan rasa bersalah yang membebani dadanya. "Kadang aku merasa harus memilih, dan aku benci setiap kali pilihan itu membuat kamu kecewa. Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu tetap penting untukku. Aku cuma... terlalu buruk dalam menunjukkan itu."
"Kamu selalu bilang aku penting, tapi tindakanmu sering berkata lain, Julia. Aku lelah mendengar janji yang sama berulang kali. Mungkin masalahnya bukan pada pilihanmu, tapi pada prioritasmu."
Julia terdiam sejenak, merasa semakin terpojok oleh kata-kata Rendi. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha tetap tenang. "Aku tahu kamu benar. Aku terlalu sering mengecewakanmu. Tapi, bukan berarti kamu bukan prioritasku. Terlalu banyak hal yang harus aku tangani, dan aku salah dalam menyeimbangkannya. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita bisa kembali hangat seperti dulu."
"Kembali seperti dulu?" tanya Rendi, suaranya terdengar getir. "Kamu yakin? Kamu bahkan lebih memilih sibuk dengan pekerjaanmu dibandingkan pergi keluar bersamaku. Ah, benar! Pekerjaanmu, 'kan, memang selalu penting. Aku yang tidak penting. Jadi, kamu memang tidak salah. Setiap kali kamu pergi dan meninggalkan aku dengan alasan 'ada yang lebih penting', sedikit demi sedikit kepercayaanku hilang, Julia. Aku tidak tahu apakah hal-hal semacam itu bisa kembali seperti dulu."
Kata-kata Rendi kembali menusuk ulu hati Julia. Rasa bersalah semakin menghantamnya. Dia merasakan air mata menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya.
"Maafkan aku. Aku... aku akan berusaha lebih baik. Aku nggak mau kehilangan kamu karena ini. Aku janji," lirih Julia.
Namun, Rendi hanya mengangguk kecil, tanpa memberi isyarat apakah kata-kata Julia mengubah apapun.
"Kita lihat nanti. Kamu harus pergi bekerja, 'kan? Maaf aku tidak bisa mengantarmu," jawab Rendi sebelum berbalik dan menutup pintu, meninggalkan Julia yang masih terdiam di ambang pintu.
Julia tahu ia salah. Meski sudah meminta maaf, Julia tidak akan menyalahkan Rendi kalaupun Rendi tidak memaafkannya. Julia hanya perlu bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi terhadap hubungan mereka.
....
Di meja kerjanya, Julia merasa hampa. Seolah-olah ruangan di sekelilingnya menjadi terlalu luas, terlalu sunyi, padahal rekannya tetap sibuk dengan tumpukan pekerjaan masing-masing. Suara printer, bunyi keyboard, bahkan percakapan ringan di sekitar tak mampu menembus kabut pikirannya.
Setiap beberapa menit sekali, Julia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pikirannya berputar, mencari celah untuk menemukan solusi, tapi malah semakin membuatnya tenggelam dalam rasa bersalah.
Pada akhirnya, jam makan siang datang. Bona kembali datang menghampirinya, kali ini dengan tatapan lebih khawatir.
"Julia, kamu yakin nggak mau makan?"
Julia tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Bona. Aku nggak terlalu lapar."
Meski perutnya kosong, namun ia sama sekali tidak berselera. Di acara charity semalam, Julia bahkan tak menyentuh hidangan apapun.
"Tapi, kamu terlihat sedikit pucat. Kamu baik-baik aja?" tanya Bona lagi.
"Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir."
"Kalau kamu tidak mau pergi ke kantin, makanlah ini. Ini roti kesukaanku. Kalau kamu tidak memakannya, aku akan sangat kecewa. Setidaknya, isilah perutmu dengan sesuatu supaya nggak jatuh sakit," ucap Bona sembari menaruh satu bungkus roti cukup besar rasa cokelat.
Julia tersenyum. Ia tahu sahabatnya ini memang sering kali terlihat menggemaskan. "Terima kasih. Aku akan memakannya nanti."
"Harus!" ucap Bona yang kembali ke meja kerjanya.
Setelah Bona pergi, Julia meraih ponselnya lagi. Ia ingin sekali mengirim pesan pada Rendi, menanyakan apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah Rendi makan dengan baik? Tangannya gemetar, menahan keinginan untuk mengetikkan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya meletakkan ponsel itu kembali ke meja. Ia tahu Rendi juga butuh waktu.
Tanpa sadar, air mata Julia mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia cepat-cepat mengusapnya, takut ada yang melihat. Tapi luka di hatinya tak mudah disembunyikan.