Bisik Di Balik Jendela

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #15

Bab 14 : Serenada Luka Dan Melodi Kesembuhan

....

KEESOKAN harinya, Julia duduk di tepi tempat tidur, memandangi layar ponselnya yang kosong. Beberapa kali ia menggulirkan daftar kontaknya, menatap nama Rendi, tapi tidak berani menekan ikon panggil. Perasaan bersalah masih menghantuinya sejak kemarin, dan ia tahu bahwa kata-kata maaf tidak akan mudah diterima. Namun, Julia memutuskan untuk menemuinya langsung.

Dengan hati yang berat, ia tiba di apartemen Rendi pagi hari sebelum berangkat kerja. Langit mendung seolah menggambarkan suasana hatinya. Julia berdiri di depan pintu, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, dan keraguan mulai menyusup ke dalam pikirannya—apakah Rendi akan bersedia mendengarnya?

Saat pintu terbuka, Rendi muncul dengan wajah yang dingin dan tanpa senyuman, berbeda dari biasanya. Julia bisa merasakan jarak emosional yang kian nyata di antara mereka. Dia mencoba tersenyum kecil, meski tahu itu tak akan menghapus luka.

"Rendi, aku tidak akan pernah bosan meminta maaf. Maaf karena telah mengingkari janji," ucap Julia dengan suara pelan, hampir berbisik. Matanya penuh harap, tapi juga takut.

Rendi tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap sama. Dingin dan menusuk. "Aku tahu kamu sibuk, Julia. Tapi aku juga berharap setidaknya kamu bisa menghargai sesuatu yang berarti buat kita."

"Aku tahu, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud mengabaikan mu atau membuat kamu kecewa... Aku hanya... kemarin terlalu mendadak," katanya dengan penuh rasa bersalah.

Rendi hanya menatapnya dalam diam, lalu memalingkan pandangannya sejenak. Julia merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka, dan meskipun Rendi tidak mengatakan lebih banyak, dinginnya sikapnya terasa jelas.

Julia menelan ludah, merasa semakin sulit untuk mencari kata-kata yang tepat. Ia menatap Rendi, berharap bisa melihat tanda-tanda bahwa permintaan maafnya bisa diterima, namun yang ia dapati hanyalah ekspresi yang tetap datar.

"Aku benar-benar menyesal, Rendi. Aku tahu acara itu penting buatmu, buat kita. Aku sudah mencoba menelepon sebelum pergi, tapi..." Julia menghentikan kalimatnya, merasa lelah dan frustrasi dengan penjelasan yang mungkin terdengar seperti alasan semata.

Rendi menghela napas panjang, menatap Julia dengan dingin. "Tapi pada akhirnya, kamu tetap memilih pergi. Kamu selalu bilang, hubungan kita penting. Tapi, aku tidak tahu lagi apakah aku bisa percaya dengan itu."

Julia menundukkan kepala, berusaha menahan rasa bersalah yang membebani dadanya. "Kadang aku merasa harus memilih, dan aku benci setiap kali pilihan itu membuatmu kecewa. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tetap penting untukku. Aku hanya... terlalu buruk dalam menunjukkan itu."

Rendi menggeleng pelan, ekspresi wajahnya masih penuh kekecewaan. "Kamu selalu bilang aku penting, tapi tindakanmu sering berkata lain, Julia. Aku lelah mendengar janji yang sama berulang kali. Mungkin masalahnya bukan pada pilihanmu, tapi pada prioritasmu."

Julia terdiam sejenak, merasa semakin terpojok oleh kata-kata Rendi. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha tetap tenang. "Aku tahu kamu benar. Aku terlalu sering mengecewakanmu. Tapi bukan berarti kamu bukan prioritasku. Aku hanya… terjebak, Rendi. Terlalu banyak hal yang harus aku tangani, dan aku salah dalam menyeimbangkannya. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita bisa kembali hangat seperti dulu."

"Kembali seperti dulu?" tanyanya, suaranya sedikit getir. "Kamu yang bahkan lebih memilih sibuk dengan pekerjaanmu dibandingkan pergi keluar bersamaku. Ah, benar! Pekerjaanmu, 'kan, memang selalu penting. Aku tidak penting. Jadi, kamu memang tidak salah. Setiap kali kamu pergi dan meninggalkan aku dengan alasan 'ada yang lebih penting,' sedikit demi sedikit kepercayaanku hilang, Julia. Aku tidak tahu apakah hal-hal semacam itu bisa kembali seperti dulu."

Kata-kata Rendi menyayat hati Julia. Rasa bersalah semakin menghantamnya. Dia merasakan air mata menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya. "Aku... aku akan berusaha lebih baik. Aku nggak mau kehilangan kamu karena ini. Aku janji."

Namun, Rendi hanya mengangguk kecil, tanpa memberi isyarat apakah kata-kata Julia mengubah apapun.

"Kita lihat nanti," jawabnya singkat sebelum berbalik, meninggalkan Julia di ambang pintu.

Julia berdiri terdiam, menatap punggung Rendi yang perlahan menghilang ke dalam apartemennya. Rasa kehilangan mulai merayap ke dalam hatinya, lebih nyata daripada sebelumnya. Meski sudah meminta maaf, Julia tahu hubungan mereka tidak akan sama lagi setelah kejadian ini.




....

Di meja kerjanya, Julia merasa hampa. Seolah-olah ruangan di sekelilingnya menjadi terlalu luas, terlalu sunyi, padahal koleganya tetap sibuk dengan tumpukan pekerjaan masing-masing. Suara printer, bunyi keyboard, bahkan percakapan ringan di sekitar tak mampu menembus kabut pikirannya.

Setiap beberapa menit sekali, Julia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan pertengkaran dengan Rendi pagi tadi terus menghantuinya. Bagaimana bisa mereka berubah dari pasangan yang dulu selalu tertawa bersama menjadi dua orang yang saling menyakiti dengan kata-kata? Pikirannya berputar, mencari celah untuk menemukan solusi, tapi malah semakin membuatnya tenggelam dalam rasa bersalah.

Pada akhirnya, jam makan siang datang. Bona kembali datang menghampirinya, kali ini dengan tatapan lebih khawatir. "Julia, kamu yakin nggak mau makan? Dari pagi kamu belum makan apa-apa."

Julia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.

"Nggak apa-apa, Bon. Aku nggak terlalu lapar," jawabnya lemah, meski perutnya kosong sejak semalam. Di acara charity, Julia bahkan tak menyentuh hidangan apapun.

Setelah Bona pergi, Julia meraih ponselnya lagi. Ia ingin sekali mengirim pesan pada Rendi, ingin mengakhiri pertengkaran itu, namun ia tahu Rendi juga butuh waktu. Tangannya gemetar, menahan keinginan untuk mengetikkan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya meletakkan ponsel itu kembali ke meja.

Tanpa sadar, air mata Julia mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia cepat-cepat mengusapnya, takut ada yang melihat. Tapi luka di hatinya tak mudah disembunyikan.




....

Julia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari semua masalah yang menumpuk. Tanpa rencana jelas, langkah kakinya membawanya ke sebuah wahana bermain di pusat kota. Tempat yang biasanya ramai dengan keluarga kini menjadi tujuannya untuk sekadar menenangkan pikiran.

Lihat selengkapnya