Elara melangkah keluar dari lingkaran lumut ungu, meninggalkan jejak Segel Arkhon yang menghantui. Pikirannya berpacu, mencoba menghubungkan titik-titik antara bisikan, Grifflon yang terkontaminasi, dan simbol kuno itu. Jika ibunya pernah menyelidiki Segel Arkhon, mungkin ada petunjuk di catatan lain atau di tempat-tempat yang pernah ia kunjungi.
Ia memutuskan untuk menuju ke Perpustakaan Batu, sebuah tempat legendaris yang terletak jauh di dalam jantung Eldoria. Perpustakaan itu bukan bangunan biasa, melainkan serangkaian gua dan terowongan alami yang diukir oleh zaman, berisi gulungan-gulungan kuno dan prasasti yang memuat sejarah dan pengetahuan Eldoria yang terlupakan. Hanya sedikit yang tahu lokasinya, dan bahkan lebih sedikit lagi yang berani mencarinya. Ibunya adalah salah satunya.
Perjalanan ke Perpustakaan Batu bukanlah hal yang mudah. Elara tahu ia harus melewati Rawa Senyap, sebuah daerah berbahaya yang terkenal dengan kabut tebalnya dan makhluk-makhluk yang bersembunyi di dalamnya. Namun, tidak ada jalan lain. Pengetahuan adalah kuncinya, dan Perpustakaan Batu adalah gudangnya.
Ia memulai perjalanannya, bergerak cepat dan efisien melalui hutan. Matahari mulai meninggi, menembus celah-celah kanopi pohon, menciptakan pola cahaya dan bayangan di tanah hutan. Elara mengandalkan instingnya sebagai Penjelajah Malam, membaca jejak-jejak hewan dan merasakan perubahan energi magi di sekitarnya.
Beberapa jam kemudian, aroma lumut basah dan air tergenang mulai tercium. Kabut tipis mulai menyelimuti pepohonan, menandakan ia mendekati Rawa Senyap. Elara mengencangkan jubahnya, menarik napas dalam-dalam. Rawa Senyap dijuluki demikian bukan karena keheningannya, melainkan karena ia mampu membungkam jeritan.
Saat ia memasuki rawa, kabut tebal langsung menyelimutinya, mengurangi jarak pandang hingga hanya beberapa langkah. Pohon-pohon di sini tampak lebih tua, lebih menyeramkan, dengan cabang-cabang yang menggantung seperti lengan-lengan yang melambai. Air di bawah kakinya terasa dingin dan keruh.
"Tunggu, anak muda."
Suara itu mengejutkan Elara. Ia berputar cepat, belati sudah di tangan. Dari balik kabut, sesosok bayangan muncul. Ia adalah seorang pria tua, tinggi dan kurus, dengan jubah yang terbuat dari daun-daun kering dan kulit pohon. Wajahnya dipenuhi kerutan, namun matanya, meskipun tampak lelah, memancarkan kebijaksanaan yang mendalam. Tongkatnya yang terbuat dari dahan pohon tampak seperti bagian dari dirinya.
"Jangan terburu-buru di tempat ini," kata pria tua itu, suaranya serak namun tenang. "Rawa ini memiliki caranya sendiri untuk menyambut pendatang baru."
Elara menurunkan belatinya sedikit, namun tetap waspada. "Siapa kau?" tanyanya.