Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #1

Tetap Hidup, Mama

Napasku sesak. Ada rasa perih yang menggerogoti sebagian besar kulitku. Aku tersengal-sengal, susah payah mengaliri udara ke paru-paru. Hawa sekitaranku mendadak terasa kian pengap dan panas, seolah ada gejolak api yang mengerubungiku. Pandanganku pun berkunang, sementara kepalaku terasa berat dan tak henti-hentinya berdenyut.

Aku perlahan memejam mata, berusaha keras meredam gejolak panik sekaligus menjernihkan pikiran yang seolah ditutupi kabut tebal. Di tengah terpejamnya aku, yang terdengar hanyalah dengung, seperti ada gerombolan serangga yang menyusup dan mengambil alih kedua telingaku.

Tidak apa-apa. Tenanglah … tenanglah. Lalu benakku mulai berhitung. Satu … dua ….

Pada hitungan ketiga, kubuka mataku. Kali ini pandanganku sudah lebih jernih, tetapi badanku masih kaku dan ngilu. Dengung perlahan lenyap, sementara kabut dalam otakku mulai menipis seiring napasku yang mulai beraturan. Lalu aku tersentak. Bak dihantam sebongkah batu besar, sebuah ingatan sekelabat menusuk alam sadarku. Refleks aku menoleh ke kanan, ke arah jok pengemudi.

Rama, suamiku, terduduk di situ dan tampak kaku. Matanya membelalak. Mulutnya menganga, diselimuti banyak darah.

Sontak aku terhenyak. Panik kembali menyerangku habis-habisan. Mulutku refleks menganga tatkala melihat ke arah perutnya. Ada benda padat nan besar yang menusuknya, menembus hingga ke bagian belakang. Lalu tenggorokanku tercekik.

Raisha, gadis kecilku, semoga dia baik-baik saja. Buru-buru aku memandang jok belakang. Namun, dia tidak baik-baik saja.

Perasaanku berkecamuk tak menentu ketika melihatnya. Pemandangan mengerikan ini tak pernah sekalipun terbesit dalam pikiranku. Gadis kecilku, duniaku, tidak mungkin direnggut dariku secepat ini.

Aku tak bisa percaya. Aku tak mau percaya.

Aku harus memastikannya. Dia harus baik-baik saja.

Dengan gelisah dan tergesa aku membuka sabuk pengaman. Tersangkut rupanya. Kucoba menariknya lagi, berkali-kali, membuka dengan paksa. Tetap tak berhasil. Aku berteriak, menyumpah, meronta-ronta agar terbebas dari jok terkutuk ini. Agar aku bisa mendekati Raisha-ku, gadis kecilku yang malang.

Aku takkan pernah mau menyerah, tetapi aku harus lebih tenang. Kembali aku memejam mata, lalu mulai menarik napas dalam dan mengembusnya perlahan. Kulakukan itu berkali-kali.

Tenanglah … tenanglah ….

Kemudian, sekali lagi kucoba membuka sabuk pengaman ini. Kali ini dengan lembut dan hati-hati. Akhirnya terlepas. Setelah itu aku mulai meliuk-liuk, melewati sela antar jok menuju ke tempat Raisha berada. Sebelah kakiku tiba-tiba tergelincir. Lututku menubruk persneling, tetapi sakitnya tak terasa. Setelah cukup bersusah payah, akhirnya aku berada tepat di sebelah Raisha.

Tidak, tidak, tidak!

Raisha-ku tak bergerak, layaknya batu. Kondisinya begitu mengenaskan. Tubuhnya yang mungil nyaris hancur lebur, berselimut darah dari dada hingga ke perut.

Aku semakin panik, semakin gelisah. Dadaku bertambah sesak. Tanganku bergetar hebat, apalagi tubuhku. Meski begitu, kutahan semuanya dengan segenap jiwa, lalu kuguncang tubuh Raisha berkali-kali, berharap akan datangnya keajaiban. Namun semua itu sia-sia. Raisha tetap tak bergerak.

“Bangunlah, Sayang … bangun …!”

Aku terus mengguncang tubuh gadis kecilku tanpa henti. Aku mengguncang sambil terus bergumam. Sambil terus terisak. Sambil terus berdoa agar kedua mata mungilnya terbuka dan napasnya kembali berembus. Sesekali aku terbatuk. Oksigen di dalam sini nyaris sirna. Hawa panasnya pun semakin menyengat. Namun, tetap saja aku terus mengguncang tubuh rapuh itu lagi dan lagi.

“Bangun, Sayang … jangan tinggalin Mama ….”

Pada satu momen di antara guncangan itu, aku sadar, Raisha tidak akan pernah bangun lagi. Meski begitu, masih saja kulakukan itu pada buah hatiku yang paling kucintai di dunia, di tengah akal sehatku yang kian menghilang seiring waktu.

Detik demi detik berlalu. Aku semakin sulit bernapas. Pandanganku nyaris gelap sepenuhnya akibat kekurangan oksigen. Energiku hampir seluruhnya terkuras. Suaraku pun tak mau lagi keluar, bahkan untuk sekadar menggumamkan harapan semu agar Raisha-ku bangun lagi.

Lihat selengkapnya