Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #2

Gadis Berwajah Pucat

“Raisha?” gumamku saat sekilas terlihat gadis kecil yang mirip putriku. 

Tidak, tidak. Tidak mungkin itu Raisha. Biarpun keduanya mirip, aku yang adalah ibunya pasti bisa membedakan mana yang putriku dan mana yang bukan. Lantas kuamati foto itu lebih saksama.

Di situ terlihat si gadis kecil sedang berswafoto bersama Rama, memeluknya erat dengan sebelah wajah bersandar di dada bidangnya. Sementara itu, Rama merangkul gemas pundak gadis kecil itu. Senyuman lebar yang seakan tanpa beban merekah di wajah mereka. Foto itu seolah mengisyaratkan—secara gamblang—kedekatan antar keduanya, bak seorang ayah bersama buah hati tersayang.

Ketika aku lebih mencermati wajah gadis kecil itu, kusadari bahwa kulitnya terlalu pucat, seolah-olah nadinya tidak dialiri darah. Spontan aku menebak kalau dia sedang mengidap semacam penyakit parah. Namun, terlepas dari itu, ada satu hal yang paling mengejutkanku dari garis wajahnya, yang jelas sekali memiliki kemiripan dengan Rama.

Awalnya aku tak percaya. Namun, saat aku lebih fokus menelisiknya, sampai menyipitkan mata, mau tidak mau aku harus mengakuinya. Mereka berdua memang terlalu mirip, bak ayah dan anak sungguhan.

Kesamaan itu terlalu kentara. Baik dari kedua matanya yang sipit, alisnya yang menekuk nyaris sempurna, sampai pada bentuk cuping dan pangkal hidungnya yang mancung, segalanya menyerupai Rama. Kemiripan itu diperjelas dari lipatan nasolabial gadis itu ketika tersenyum, membuatku merasa sedang melihat Rama yang tersenyum, alih-alih dia.

Dadaku memanas lagi, disertai nyeri yang lebih perih dari yang pernah kualami. Bermacam pikiran liar seketika menguasaiku. Apa jangan-jangan Rama punya hubungan gelap dengan gadis lain? Mungkinkah dia anak Rama hasil hubungan gelap itu?

Secara refleks, kusentuh cincin bermata safir mungil di jari manisku, lalu memejam mata dan menarik napas dalam berkali-kali. Dengan telunjuk, kuelus lembut permata biru berkilau yang dipeluk erat oleh bezel emas putih berdesain lotus.

Ini adalah cincin terindah yang pernah kumiliki, pertanda keseriusan atas cinta Rama padaku, yang dia berikan ketika melamarku malam itu. Rama bilang padaku, alasannya memilih safir karena nama permata biru itu selalu mengingatkannya akan namaku.

Berdasarkan itulah, tidak mungkin aku dengan mudahnya meragukan ketulusan cinta Rama. Aku takkan mau percaya sebelum menemukan bukti-bukti yang mengarah pada kebenaran sesungguhnya. Pikiran negatif ini perlu segera dilenyapkan dari otakku.

Bermenit-menit berikutnya, aku sudah sedikit lebih tenang. Kuperhatikan kembali foto itu, kali ini lebih fokus ke latarnya. Dari sebagian ranjang yang terlihat dan pernak-pernik di sekelilingnya, kutebak foto itu diambil di semacam ruang rawat inap. Namun, dari kondisinya yang jadul dengan lapisan cat yang banyak mengelupas, sepertinya itu bukan dari ruang rawat inap rumah sakit.

Mungkinkah di puskesmas? Setahuku, memang ada beberapa puskesmas yang memiliki ruang rawat inapnya sendiri, biasanya ada di desa yang berlokasi jauh dari rumah sakit.

Lantas aku membalik foto itu dengan sengaja, berniat melihat sisi belakangnya. Seketika aku mengernyit. Terdapat catatan kecil di sudutnya, yang dari bentuknya kutahu jelas adalah tulisan tangan Rama. Kubaca catatan itu, setengah berbisik, “bwh lotus ukr kuku.”

Bawah lotus ukuran kuku?

Sontak aku melirik cincin safir di jari manisku, memandang bezel berdesain lotusnya yang memang seukuran kuku. Kutaruh foto di pangkuan, lalu melepas cincin. Kuperhatikan bagian bawah bezel. Karena kurang jelas, aku bergeser ke dekat lampu tidur di nakas samping ranjang. Barulah dapat terbaca angka-angka asing yang terukir di sana: 451-10832.

Angka apa ini?

Lihat selengkapnya