Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #3

Tragedi

“Ma …, Papa di mana? Kok belum pulang?” Raisha bertanya padaku. Dari suaranya, aku tahu kalau dia juga sama cemasnya denganku.

Sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi Rama tak kunjung pulang. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya, selambat-lambatnya dia pulang pun, tidak akan pernah lewat dari pukul dua belas malam. Apalagi di akhir pekan seperti saat ini.

Aku menatap Raisha yang berbaring di pelukanku. Kubelai lembut rambutnya dan menatap matanya sambil tersenyum sehangat mungkin. Semoga ini bisa membuatnya tenang.

“Sabar ya, Sayang, Papa bentar lagi pulang kok,” kataku. “Kamu bobok, ya. Sudah jam segini, lho.”

Aku merasa bersalah karena sudah membohongi Raisha. Jujur, aku pun tidak tahu di mana Rama dan kapan dia akan pulang. Rama sudah pergi sejak pukul empat sore. Dia bilang mau ketemu seorang penjual alat kedokteran. Namun, dia tidak memberi tahuku di mana lokasi pertemuan itu atau sampai jam berapa urusan itu akan selesai.

Sudah berkali-kali aku mencoba meneleponnya. Ponselnya memang aktif, tetapi panggilanku tidak pernah diangkat. Sedang apa sih dia sampai selarut ini?

Kulihat Raisha belum juga bisa tenang, padahal dia sudah sangat mengantuk. Kedua tangan mungilnya terus meremas ujung selimut sedari tadi. Begitulah Raisha kalau sedang cemas atau gugup. Kebiasaan itu diturunkan dariku, sehingga aku cepat mengerti. Aku harus mencari cara agar Raisha tidak khawatir lagi dan mau lekas tidur.

“Gimana kalau Mama bacain cerita Si Kancil kesukaan kamu?” tawarku.

Raisha menggeleng cepat. “Enggak mau. Sha maunya papa!”

Memang, sejak Rama belum pulang malam ini, Raisha yang biasanya sudah terlelap sebelum jam sepuluh malam, mendadak tidak mau tidur. Bahkan dia terus menolak saat aku mau membacakannya dongeng seperti biasanya.

“Raisha …, bobok yuk, Sayang. Lihat, mata kamu sudah loyo banget tuh, sudah ngantuk.” Kucuil gemas ujung hidungnya yang imut itu. “Nanti Papa marah, lho, kalau kamu belum bobok jam segini. Kamu enggak mau, kan, bikin Papa marah?” Aku berucap dengan lembut, tak ingin membuat Raisha ketakutan dengan meninggikan suara, apalagi saat dia sedang mencemaskan papanya.

Raisha masih saja merengut, tetapi sesaat kemudian, dia menguap. Ternyata dia memang sudah sangat mengantuk. Aku tertawa kecil. Tingkahnya sungguh menggemaskan.

Beberapa menit setelahnya, Raisha pun tertidur. Dengan hati-hati aku menggeser tubuh hanya untuk turun dari ranjang, tak ingin membuat Raisha terbangun. Aku berdiri di samping ranjang, tersenyum memperhatikan wajah pulas bidadari kecilku.

Rasanya waktu berlalu teramat cepat. Sekarang Raisha sudah berusia empat tahun, hampir menuju lima. Hanya tinggal seminggu lagi sebelum ulang tahunnya tiba. Secepatnya aku harus mengingatkan Rama dan merencanakan perayaan ulang tahun Raisha.

Tetapi, ada di mana sih dia?

Aku sendiri tidak akan bisa tidur sebelum memastikan Rama baik-baik saja. Sekarang sudah pukul satu dini hari dan Rama masih belum pulang, bahkan sekadar memberi kabar. Ini terlalu ganjil. Aku mondar-mandir di ruang tengah bak orang kehilangan arah. Tanganku sibuk meremas ujung baju, sementara otakku dihantui berbagai pikiran macam-macam.

Bagaimana kalau terjadi hal buruk pada Rama? Bagaimana kalau Rama kecelakaan atau diculik atau tidur bersama gadis muda?

Tidak, tidak, tidak.

Kuakui kalau pikiran terakhirku itu terlalu liar. Aku mengenal Rama luar dan dalam. Dia tidak mungkin melakukan tindakan bodoh seperti bermain perempuan. Aku sangat mempercayainya. Rama bukanlah lelaki rendahan yang dengan gampangnya terjerumus oleh rayuan gadis murahan.

Seketika aku bergeming tatkala mendengar raungan petir, disusul guyuran hujan yang mendadak deras. Lalu, bermenit-menit setelah itu, kudengar bunyi klik dari pintu depan, menandakan ada yang mau membukanya. Buru-buru aku menuju ke ruang tamu, menatap lekat ambang pintu.

Rama akhirnya pulang. Syukurlah dia baik-baik saja.

Sebagian besar tubuh Rama basah kuyup, tetapi dia seperti tidak memedulikannya. Segera, setelah menutup pintu, dia mengintip ke luar dari pinggiran jendela yang gordennya disibak sedikit. Cukup lama dia begitu, sebelum akhirnya melangkah cepat ke arahku. Wajahnya panik dan tegang. Dia memegang erat kedua bahuku, tatapannya nanar.

“Vi, bawa Raisha. Cepat. Kita harus pergi dari sini!”

“Lho, ada apa—”

“Enggak usah berkemas. Bawa HP dan dompet aja cukup. Ayo cepat!”

Lihat selengkapnya