Napasku menggebu bersamaan dengan mataku yang terbelalak. Langit-langit kamar berpendar oranye menyambutku. Kurasakan peluh membanjiri sekujur tubuh, sementara air mataku berlinang deras tiada henti. Kepingan-kepingan memori yang selama ini terkubur mulai meluap seiring hadirnya mimpi teramat nyata yang baru saja kualami.
Memori yang selama ini terjebak di sudut otak terdalam telah muncul. Kini aku mengingatnya, bahwa pada malam itu—tepat sebelum kecelakaan itu, Rama pulang dengan wajah tegang dan bertingkah laku tak biasa.
Insiden yang sebelumnya kupikir berkat nasib buruk belaka, rupanya adalah tindak kejahatan yang teramat keji. Tragedi nahas itu tidak akan terjadi kalau bukan karena SUV hitam yang mengejar dan menyerempet mobil kami sehingga menabrak pembatas jalan tol.
Kepalaku mendadak nyeri tatkala mengenangnya. Dadaku pun menjelma panas luar biasa. Namun aku tak peduli. Kupejam mata sambil menindihnya dengan sebelah lengan. Lalu, kutumpahkan segala emosi yang membeludak, yang kuyakini adalah penyebab segala nyeri yang menggerayangiku.
Aku tak yakin sudah berapa lama sedu sedanku berlangsung, yang jelas sedikit rasa tenang mulai memelukku sekarang.
Perlahan aku bangkit, duduk di sisi ranjang sembari menerawang jendela tertutup gorden. Saat itulah tengkukku seketika meremang, lalu timbul rasa hangat seolah ada yang mengembus napas tepat di belakang telingaku. Aku menahan napas. Wajahku berubah kaku, sementara getaran mulai menjalar dari ubun-ubun hingga ujung jemari.
“Tolong aku …, Mama.”
Bisikan itu datangnya tiba-tiba, suaranya terlalu halus, tetapi rasanya bergema hingga menusuk batin. Aku tertegun, merasakan jantung yang seolah jatuh dengan kecepatan tak terduga. Secara refleks, aku menoleh cepat, tetapi hanya kehampaan yang terlihat.
“Raisha?!” panggilku spontan sembari berdiri.
Pandangku berkeliling, menelaah setiap sudut kamar dalam temaram warna oranye. Namun, tiada siapa-siapa yang bisa kutemukan.
“Raisha?” panggilku lagi, lebih pelan kali ini, sementara bulir air mata mulai menumpuk di sudut mataku. “Jawab Mama, Sayang! Itu kamu, kan?”
Namun, sekali lagi, hanya kehampaan dan keheningan suram yang menyelimuti penjuru kamar. Apa ini hanya sekadar ilusiku? Tidak, aku yakin bahwa bisikan itu nyata adanya. Dan suaranya yang familier sontak membuatku tak bisa lagi menahan linangan air mata.
Secara spontan, pikiranku tergerak untuk mencari keberadaan si pembisik, yang kuharapkan adalah Raisha sang bidadari kecilku. Maka aku mulai melangkah, dengan pelan dan hati-hati, menyusuri pinggiran ranjang menuju sisi yang satunya. Kusibak selimut hingga menelaah kolong ranjang. Ia tak ada di sana.
Perasaanku campur aduk, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Aku takut, jelas sekali, karena sekujur tubuhku bergetar tiada tara. Namun, ada satu titik dalam hatiku yang tetap menginginkan jawaban. Aku bukan orang yang menyukai hal mistis, tetapi bukan berarti aku tidak memercayainya. Dan kuyakin benar bahwa hal ini bukanlah ilusi. Raisha membutuhkan pertolonganku.
Aku beralih pandang pada pintu kamar mandi yang tertutup. Kutelan ludah ketika berharap dapat menemukan Raisha di dalam sana. Dengan langkah lebih pelan, kudekati pintu itu, lalu bergeming saja setelah berada tepat di depannya.
Besar harapanku bahwa bisikan itu muncul lagi. Namun, setelah bermenit-menit menyimak dalam keheningan getir, ia tak kunjung datang. Maka aku menjulurkan tangan, menggenggam gagang pintu, lalu dengan satu tarikan napas membukanya cepat.
“Raisha …?!”
Berkali-kali aku memanggilnya, berkali-kali pula getar suaraku bergema parau. Kupindai dengan teliti seisi ruangan, setiap sudutnya, lemari obat dan bak mandinya. Namun, tetap saja sosok yang kucari tiada dapat kutemukan.
Di mana Raisha? Di mana bidadari kecilku?!
Banyak hal yang ingin kuceritakan pada gadis kecilku tersayang. Tentang bagaimana hidupku kian menderita semenjak kehilangannya, tentang bagaimana karier yang susah payah kubangun sedang berada di ujung tanduk, tentang segala-galanya. Namun, Raisha-ku memang tidak ada di sini. Dia memang tidak seharusnya ada di sini—tidak akan bisa!
Lantas aku memerosot, meringkuk lemah tepat di sebelah bak mandi yang seolah memanggilku untuk mengisinya dan membenamkan wajahku ke dasarnya.
Sungguh aku tak bisa lagi berpikir logis, hanya mengandalkan insting yang bergejolak jahat. Hanya satu hal yang terbesit di pikiranku sekarang. Aku harus bertemu kembali dengan Raisha dan Rama, secepatnya, karena mereka butuh pertolonganku!