Aku yakin sangat mengenali suara itu. Di semakin seringnya dia memanggilku, aku merasa ada tangan yang turut mengguncang kencang tubuhku. Hingga akhirnya aku pun tersentak sadar, kemudian malu bukan main karena berbagai tatapan ngeri bercampur kasihan itu seolah menghunjamku tepat menembus batin.
Refleks, aku menangkup wajah. Air mataku tak terbendung. Kudengar seseorang yang tadi memanggil dan menyadarkanku itu menggeser kursi untuk duduk di sebelahku. Dia mengelus lembut bahuku berkali-kali. Tanpa sempat melirik wajahnya, kuyakin kalau dia pasti Bintang.
“Sha …, kamu enggak apa-apa, kan? Kita pindah tempat aja, yuk,” usulnya.
Perlahan aku menggangguk tanpa berani mengangkat wajah. Kenapa harus kambuh di tempat seperti ini, sih? Aku yang merasa berat melangkah, dirangkul Bintang meninggalkan kafe ini. Di luar dugaan, Bintang mau repot-repot membayar minumanku. Ternyata dia cukup peka.
Beberapa saat setelah kejadian memalukan itu, kami tiba di sebuah taman kecil tak jauh dari rumah sakit. Kami duduk di sebuah bangku yang tepat menghadap ke area bermain yang dipenuhi anak-anak seumuran Raisha. Ternyata Bintang tidak sepeka itu.
Aku tak sanggup memperhatikan anak-anak yang bermain dengan gembira di depan sana, jadi aku mengalih pandang pada Bintang yang sedang memesan es krim gerobakan.
Kuperhatikan, Bintang masih tampak imut meski hanya memakai kaus putih berlapis kardigan krim dan celana linen. Dia berperawakan sintal, tidak sekurus aku, apalagi aku yang sekarang. Meski begitu, menurutku wajahnya yang bulat tidak cocok dengan gaya rambutnya yang melulu dikucir kuda. Namun, betapa seringnya aku mengutarakan pendapat itu, dia takkan pernah mau mendengarkan.
Aku terus memperhatikan Bintang hingga dia mendekat sambil membawa dua gelas es krim. Seakan tak pernah lupa, dia menyimpul senyum saat menatap balik diriku.
Kuambil jatah es krimku, tetapi bukan untuk menyantapnya, hanya menatap dalam-dalam. Sementara itu, Bintang yang duduk di sebelahku mungkin masih merasa canggung. Dia belum berkata apa-apa semenjak kami tiba di taman ini, padahal Bintang yang kukenal tidak seperti ini. Biasanya dia tidak pernah berhenti mengoceh.
Sejurus kemudian, tarikan napas Bintang membuatku menoleh padanya.
“Aku senang akhirnya kita bisa hang out kayak dulu lagi. Tapi, setelah melihat kejadian tadi, jujur, aku sedih banget, Sha. Aku merasa kayak sahabat enggak berguna. Sahabat macam apa yang enggak ada saat sahabatnya lagi butuh?”
Aku termangu. Apa yang Bintang ucapkan jauh di luar perkiraanku. Selama ini aku merasa Bintang tidak pernah peduli dengan kondisiku pasca kehilangan.
Kalau memang tak peduli, untuk apa air mata itu, Bintang?
Hening masih menyelimuti kami. Setelah mengatakan itu, Bintang sibuk dengan air matanya yang terus berlinang hingga nyaris menyatu dengan es krim di pangkuannya.
Lalu, tiba-tiba saja Bintang menarik napas singkat dan berkata, “Maafin aku, ya, Sha.” Dia langsung menatapku lurus-lurus, memasang wajah menyesal.
Meski itu kalimat yang selama ini aku tunggu-tunggu, tetapi entah kenapa aku bingung bagaimana cara menanggapinya. Jujur, aku memang sempat membenci Bintang yang menjauh tanpa pernah memberiku dukungan, seolah membiarkanku terpuruk sendirian. Namun aku merasa tidak menyimpan dendam padanya. Biar bagaimanapun, Bintang masihlah sahabatku yang berharga. Meski harganya kini sudah banyak berkurang.
Aku bukan orang yang bisa dengan mudah mengutarakan kalimat bijak. Maka aku hanya tersenyum senatural dan setulus mungkin, lalu mengangguk penuh arti. Aku yakin jawabanku tersampaikan dengan baik padanya, karena dia langsung memelukku erat-erat.
Dasar, Bintang masih saja ceroboh. Hampir saja es krim di tanganku tumpah dan mengotori celana karena pelukan yang tiba-tiba ini.
Adegan ini cukup membuatku malu, tetapi aku merasa cukup senang. Setelah itu, percakapan kami berlangsung natural seperti biasanya, diselimuti canda tawa. Hingga ujung-ujungnya perbincangan ini menjurus pada karierku yang terancam.
Setelah bercerita tentang pertemuanku dengan Kirana, juga deadline yang bagai momok itu, aku meminta saran pada Bintang. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana cara agar energi kreatif dapat kembali padaku seperti sedia kala. Jadi aku sangat butuh perspektif lain, terutama dari sahabatku satu-satunya. Sebagaimana Bintang yang kukenal, dia menanggapi keluh kesahku dengan cukup bijak.
“Aku memang enggak bisa ngasih saran soal nulis skenario,” katanya, “tapi aku bakal berusaha bantu kamu supaya bangkit lagi. Menurut aku, kamu belum bisa merelakan kepergian mereka, Sha. Padahal itu yang paling penting. Kalau kamu udah ikhlas, kamu enggak bakal punya beban lagi. Dan itu pasti bisa membantu kamu buat bisa nulis lagi.”
Lama aku merenungi ucapan Bintang. Bisa dibilang aku memang setuju dengan sebagian besarnya. Namun, melakukannya tidak semudah mengungkapkan kata-kata. Bagaimana bisa aku rela jika belum menemukan kebenaran atas tragedi ganjil yang merenggut dua orang tersayang? Benar, aku tidak akan bisa ikhlas sebelum mengetahui segala alasan di baliknya.
Maka kutatap Bintang tepat di kedua mata, lalu berucap dengan nada serius, “Bi, aku mau nanya sesuatu … soal Rama.”