Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #6

Perjalanan

Perjalananku sama sekali tidak menenangkan. Menyusuri hamparan udara yang seakan tak berujung—selama total hampir empat jam—sukses membuatku tidak nyaman.

Berulang kali aku berusaha menormalkan degup jantung yang semakin menjadi-jadi, tetapi hasilnya sama saja. Aku masih belum bisa tenang. Kuyakin penyebabnya pasti rasa penasaran dan ketidaksabaran yang kian membuncah. Kebenaran seperti apa yang akan kutemui di sana nanti?

Kutatap gumpalan awan yang tidak menyembulkan cahaya itu. Abu-abu warnanya, sebagaimana hatiku. Lalu aku terperangah saat tak sengaja menatap salah satunya, yang secara mengejutkan menyerupai wajah Raisha. Namun, ketika aku mengerjap untuk memastikannya, wajah itu telah sirna. 

Refleks aku menutup jendela pesawat, lalu meremas ujung baju. Panas di dadaku kumat lagi tatkala otakku menyibukkan diri mengenang Raisha. Sensasi jahat seketika muncul lagi, persis seperti malam ketika aku nyaris membiarkan air menelanku bulat-bulat.

Betapa malangnya nasib anak gadisku itu, pun nasibku sendiri karena kehilangannya secepat ini. Padahal hanya tinggal menghitung hari sebelum ulang tahunnya yang kelima tiba.

Seandainya waktu itu aku curiga akan gejala aneh dalam diri Rama, perubahan sikapnya yang bertolak belakang, mungkin aku bisa membujuknya untuk terbuka padaku. Sehingga kami tak perlu melarikan diri dan aku tak harus ditinggal sendiri di dunia. Namun, bukannya aku mau menyalahkan Rama atas segala masalahnya. Tiada yang salah padanya. Aku takkan pernah mau menyalahkannya. Aku yang salah karena kurang peka. Ya, semuanya salahku.

Salahku!

Tanpa sadar, ujung baju ini semakin kuat kuremas, sementara nyeri dada ini dengan cepat menjalar ke ubun-ubun sampai kepada ujung kaki. Mesin pesawat berderu kian nyaring hingga telingaku berdengung siksa. Kutekuk wajah sambil memejam mata rapat sekali, bahkan seperti memaksanya kuat-kuat. Perasaan dan logikaku sedang saling serang sekarang. Salah satunya setuju bahwa ini memang salahku, sementara yang lain meragukannya.

Tidak ada yang salah, tiada gunanya menyalahkan diri sendiri. Aku seharusnya bisa mencegahnya, sebelum Rama memboyongku dan Raisha melarikan diri seharusnya aku lebih banyak bertanya dan curiga sehingga kami tak perlu celaka.

Raisha, bidadari kecilku yang malang. Maafkan Mama, semuanya salah Mama.

Pergolakan batin dan pikiranku nyaris membuat kepalaku meledak kalau saja panggilan dan guncangan lembut di bahu ini tak segera kurasakan. Aku terkesiap, mengerjap, dan mendapati pelakunya adalah seorang pramugari. Wajahku pasti terlihat aneh sekarang karena perempuan itu memerhatikanku dengan kernyitan di dahi.

Namun itu tak berlangsung lama, karena dia mulai tersenyum manis dengan tatapan mata yang menurutku masih ada sedikit keraguan. Dia rupanya mau menawariku minuman hangat.

“Teh atau kopi, Bu?”

Dalam jeda singkat, seketika aku teringat Rama, tentang begitu sukanya dia pada kopi tanpa gula. Maka aku mengerjap sambil memaksa tersenyum, lalu memilih kopi.

“Tanpa gula, ya,” pintaku pelan, nyaris berbisik.

Semoga pahitnya kopi dapat menetralkan pertikaian dalam diriku. Begitu tersaji, segera kusesap minuman hangat itu. Aku bersyukur karena sensasi kaefin ternyata cukup membantu, gejolak dalam jiwaku mulai mereda sedikit demi sedikit.

Demi mengenyahkan pikiran-pikiran liar agar tak muncul lagi, kuterawang sekeliling kabin yang lengang. Tak banyak orang yang ingin pergi ke tempatku menuju, apalagi di saat seperti sekarang, yang bukanlah musim liburan panjang. Seingatku hanya ada delapan orang—termasuk aku, dan semuanya duduk cukup berjauhan satu sama lain.

Beberapa baris di depanku, di sisi kanan, seorang pria tua tampak damai dalam buaian mimpi. Jika aku bisa terlelap senyenyak dia, mungkin lelah batinku dapat sedikit terobati. Namun realita selalu tak sejalan dengan harapan. Setiap kali mencoba tidur, pikiran-pikiran jahat pasti merasa senang karena dapat leluasa menggerayangiku.

Tak mau lagi aku mengalami kejadian memalukan untuk ke sekian kalinya. Otakku perlu segera disibukkan dengan apa saja, dan yang paling baik adalah dengan mengingat lagi tekatku dalam mencari kebenaran. Maka kuambil buku bersampul kulit dari dalam tas selempang di sisiku. Kubuka halaman demi halamannya. Telunjukku menyusuri permukaan kertas yang sudah agak menguning. Setelah itu, kubaca ulang semua yang telah kutulis, tentang apa-apa saja yang sudah kudapat sejauh ini.

Lihat selengkapnya