Tidak ada hal yang lebih baik dalam mencegahku terlelap selain berita negatif yang sukses menambah beban pikiran. Sepanjang siang, setelah menenangkan diri, yang kulakukan hanyalah mencari informasi tentang kasus orang hilang itu. Lalu, ketika malam kini menjelma, aku hanya bisa berbaring dengan mata terpejam, dalam remang, tanpa bisa sekali pun terlepas dari memikirkan keselamatan diri.
Dengan selimut yang nyaris menutupi seluruh tubuh, dalam usaha agar dapat terlelap, otakku tak berhenti mengingat hasil penelusuranku hingga secara spontan sibuk menduga-duga.
Sepanjang yang kudapat, jumlah kasus orang hilang terbanyak adalah di Batam, Tanjungpinang, dan Bintan. Lalu disusul dengan Karimun, Anambas, dan Lingga. Sementara Natuna adalah yang jumlah korbannya paling sedikit; hanya dua kasus di sepanjang tiga tahun ini.
Instingku berkata—yang diperkuat dengan analisis mendalam—bahwa daerah yang jumlah korbannya paling sedikit justru adalah yang paling berbahaya.
Bagaimana kalau aku ikut hilang sebelum berhasil menemukan kebenaran?
Refleks, mataku terbuka. Kuremas ujung selimut sambil susah payah menelan ludah. Tidak. Bisa jadi tempat ini adalah yang paling aman. Benar, aku hanya terlalu kepikiran. Lagi pula, dugaanku lebih banyak mengandalkan insting ketimbang logika, sehingga tak bisa kupercayai begitu saja.
Tanpa sengaja pandanganku jatuh pada jam dinding yang bergantung tepat di seberang ranjang: jam 7.05. Aku memicing, memastikan tak salah lihat. Dari situlah kusadari kalau jarum merahnya tak bergerak.
Aku mendesah, lalu meraih ponsel di nakas untuk hanya kugenggam erat, tanpa melakukan apa-apa. Aku memang penasaran dengan pukul berapa sekarang, tetapi rasanya berlebihan kalau harus menyalakan ponsel. Takutnya malah ada telepon tiba-tiba dari Kirana. Aku tahu betul dia orangnya seperti apa. Memberi waktu tiga hari bukan berarti dia akan berhenti menagih naskah setiap waktu.
Lalu sekonyong-konyong terbesit satu ingatan yang paling jahat dari segalanya. Ingatan yang sebaiknya tetap terlupakan, tetapi begitu membekas sehingga takkan mudah hilang. Sigap aku bangkit, lalu berjalan cepat menuju sisi jendela. Kusibak gordennya sedikit, mengintip—dari lantai dua—halaman depan hotel hingga ke jalannya.
Hanya gelap yang menyambutku, tiada apa-apa selain kabut penyelimut malam. Seketika aku bergidik berkat kesunyian yang membuat dengung memenuhi kedua gendang telinga. Seingatku, sejak mentari berganti bulan, sama sekali tak terdengar suara kendaraan yang lewat. Aku bernapas lega karena itu. Tidak ada kendaraan yang lewat berarti SUV misterius itu, yang rutin mengintaiku selama ini, juga tak mungkin ada.
Setelah memastikan sekali lagi bahwa di luar sana benar-benar tidak ada yang mencurigakan, aku melepas pegangan pada gorden. Aku berniat kembali berbaring, tetapi tak sengaja menatap lampu tidur membuatku terperangah. Pendar oranyenya berkelip cepat seperti ingin rusak.
Segera aku mendekati nakas tempat lampu itu bernaung, berniat mencari penyebabnya. Namun, belum sampai aku pada tujuan, gulita segera menjelma. Sontak aku mematung. Lalu, udara di sekitarku berubah panas di tengah deru AC yang begitu kencang. Saat itulah sayup-sayup muncul cekikikan anak kecil yang familier, disertai derap seolah ada yang berlari mengitariku.
“Raisha?”
Sunyi senyap. Baik cekikikan maupun derap itu mendadak sirna. Aku menelan ludah. Sambil susah payah menahan tremor, kupanggil lagi nama putriku. Berdetik-detik berlalu tanpa ada yang menyahut. Lalu tiba-tiba kurasakan ada yang membelai punggung tanganku. Lembut, tetapi sensasinya dingin menusuk. Aku pun mengerjap, menoleh ke kiri dan kanan dalam kelam. Aku sadar benar upaya ini tiada gunanya. Namun, tetap saja aku tak berhenti, pun terus memanggil-manggil nama putriku.
“Di sini, Ma ….”
Bisikan itu akhirnya datang seiring lampu oranye memberi penerangan samar. Kupandangi arah suaranya, tetapi tidak ada siapa-siapa di ujung sana. Maka kudatangi sudut itu dengan langkah pelan yang kontras dengan deru jantungku. Setibanya di sana, aku bergeming, memasang pendengaran secermat mungkin.
Sekonyong-konyong ujung bajuku ditarik lembut. Aku refleks menoleh dan bersyukur atas penampakan yang selama ini kunanti. Raisha bergeming, menunduk tanpa menampakkan muka. Kulit pucat pasinya berselimut gaun putih berkilauan. Aku terpana, karena dia benar-benar menyerupai bidadari dari langit.
Ragu-ragu kusebut namanya seraya berlutut. Jemariku tak kuasa menahan hasrat untuk membelai kedua pipinya yang ternyata sedingin es. Namun, di tengah rasa gembiraku karena kembali bertemu sosok putri yang kurindukan, aku terperangah tatkala beradu pandang dengannya.
Dia bukan Raisha. Dia gadis berwajah pucat dalam foto.
“Sampai ketemu lagi …, Mama.”