Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #8

Selangkah Lebih Dekat

Tak bisa kuingat entah sejak kapan aku mulai tertidur. Saat akhirnya aku terjaga berkat seruan lelaki berjanggut kambing, kapal ini rupanya sudah bersandar di dermaga Pulau Belah. Aneh rasanya. Bisa-bisanya aku terlelap begitu saja di tempat tak nyaman ini, bahkan ketika sedang terombang-ambing di lautan lepas.

Aku menoleh ke kanan, lelaki bertampang datar itu sudah tidak ada. Refleks aku mengecek kelengkapan seluruh barang bawaanku. Jujur, aku sempat mengira kalau lelaki menyebalkan itu adalah orang jahat yang mengincar barang-barangku. Namun, perkiraanku salah. Barang bawaanku ternyata aman seluruhnya.

Setelah mendesah lega, aku mengecek ponsel, tetapi malah terkesiap dibuatnya. Ponselku sama sekali tidak menangkap sinyal. Pandanganku mendadak nanar. Kalau begini, bila nanti terjadi apa-apa denganku di sini, aku takkan bisa menghubungi siapa-siapa untuk meminta pertolongan. Terus, bagaimana dengan Kirana? Bisa-bisa dia nanti mengomel tiada henti karena tak kunjung bisa menghubungiku.

Namun, seolah ada percikan api yang menyengat otak, lekas aku menggeleng cepat. Tidak, aku tak boleh menyerah hanya karena hal sepele ini.

Kupejam mata seraya menggenggam ponsel erat-erat. Aku harus tenang demi Rama dan Raisha—demi mendapat kebenaran. Lalu beberapa saat kemudian, bersamaan dengan seruan tak sabaran si empunya kapal, panik dalam diriku akhirnya mereda. Lantas aku bangkit lalu keluar kabin.

Terik matahari menyambutku saat menginjakkan kaki di geladak. Sementara rambutku terombang-ambing diterpa angin, tangan kiriku refleks melindungi pandanganku yang silau. Cukup lama aku begitu sambil bergeming seraya menghidu aroma laut yang asinnya seolah dapat tercecap lidahku. Lalu, setelah terbiasa dengan terik dan nuansa baru ini, barulah aku turun dari kapal.

Di dermaga, lelaki yang tampang masamnya melekat sempurna itu menungguku. Saat melihatku muncul, dia mengode dengan kepala cepaknya, meminta ongkos. Kuraih tas selempang, mengambil uang melebihi jumlah yang kami sepakati. Walau perilakunya meresahkan, menurutku lelaki itu pantas dihargai atas dedikasinya karena bersedia mengantar dua penumpang saja.

Sebelum pergi, kutanyai lelaki itu tempatku bisa menginap. Aku sama sekali tidak menangkap rasa ingin tahu di wajah lelaki itu ketika memberitahukan letak dan arah jalan menuju tempat itu. Memberinya ongkos lebih ternyata keputusan yang benar.

Aku berjalan di dermaga sambil memperhatikan sekitaran. Di sebelah kiri dan kananku, di masing-masing sisi dermaga, bertambat sekitar belasan sampan dan kapal kecil penangkap ikan. Di sebagian kapal itu, para lelaki sibuk dengan hasil tangkapan laut mereka. Sedangkan sebagian kapal lain sepertinya baru akan pergi melaut.

Sementara itu, sekitar 100 meter di depan sana, ada satu tempat yang lebih besar dan mencolok, dikerumuni sekitar belasan orang. Dugaanku itu tempat pengepul ikan—tempat para tengkulak menimbang hasil tangkapan para nelayan. Di sana, ikan-ikan dikumpulkan dalam wadah jaring, lalu digantung di timbangan tua karatan yang berderit diterpa angin laut.

Bau amis semakin menyeruak tatkala kulewati tempat pengepul ikan itu. Tak ada seorang pun yang memperhatikanku, jadi aku sengaja mempercepat langkah. Semakin aku mencapai gapura dermaga, semakin banyak pula rumah-rumah yang kulewati di kanan dan kiriku.

Aku sebenarnya sudah mempersiapkan jawaban jika nanti ditanyai penduduk sekitar soal alasanku datang ke sini. Namun, orang-orang yang berpapasan denganku sejak tadi tidak ada yang menanyaiku, apalagi menyapa. Mereka hanya melirikku sekilas lalu kembali beraktivitas seperti sedia kala. Cukup mengherankan, memang, tetapi bukan masalah besar. Aku lebih suka begini.

Setiba di persimpangan, aku berjalan ke kanan, sesuai instruksi si empunya kapal. Setelah berjalan kurang lebih seratus meter melewati jejeran rumah-rumah di kedua sisi, kutemukan satu rumah yang lebih besar dari yang lain. Rumah itu berdinding papan dan bertingkat dua. Di atas pintu masuknya tergantung plang bertuliskan: PENGINAPAN DESA BELAH.

Aku masuk dan yang menyambutku adalah lobi sempit yang di sudutnya terdapat meja resepsionis kecil. Tidak ada orang di sini, jadi aku duduk di sofa usang warna cokelat di sebelah kanan pintu masuk. Secara spontan aku memperhatikan sekeliling, sebagaimana kebiasaanku.

Kutaksir ruangan ini seluas kamar tidur Raisha. Lantainya juga dari papan dan dilapisi karpet tipis warna kuning yang bolong di sana-sini. Dindingnya dicat warna serupa dengan karpet, tetapi lebih muda, dengan banyak lapisan yang mengelupas. Sementara itu, di langit-langitnya bergantung kipas angin yang berputar pelan sekali, anginnya nyaris tak terasa.

Sejurus kemudian, muncul perempuan tambun dari ruangan sebelah, ruangan tertutup tirai yang letaknya persis di arahku tengah menghadap. Aku berdiri. Sementara kami saling pandang, kulihat air mukanya yang semula ogah-ogahan berubah semringah.

“Oh! Lah lama ndok de tamu,” kata perempuan itu antusias.

Kudengar aksen Melayu-nya lebih kental daripada sopir taksi kemarin. Bahkan aku sampai sulit mencerna kalimatnya karena terlalu cepat dan kurang jelas.

Perempuan tambun itu tiba di belakang meja resepsionis, lalu menatapku. Ketika aku di hadapannya, dia pun memperkenalkan diri. Kuketahui perempuan tambun itu bernama Milah, tetapi orang-orang di sini biasa memanggilnya Makcik. Dia bersikeras aku turut memanggilnya begitu, jadi kusetujui saja.

Makcik menanyakan namaku, yang setelah kujawab, dia memakai sapaan “Dik” padaku. Padahal kalau kutaksir dari usianya yang kelihatan sepantaran mendiang ibuku, lebih cocok kalau dia memanggilku “Nak”.

Lihat selengkapnya