Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #9

Diserang Panik

Sulit bagiku mempercayai Makcik, yang berkata bahwa gadis pucat itu adalah anak dari perempuan pendatang yang sudah lama tiada, tanpa ada hubungan apa-apa dengan mendiang suamiku. Bahkan dia tak sependapat denganku saat kubilang kalau wajah gadis itu sangat mirip dengan Rama.

Maka sambil menyodorkan foto itu lagi—kali ini kuminta dia melihatnya dengan lebih cermat, tatapanku terus tertuju pada wajahnya, menelisik ekspresinya. Kulakukan itu dalam usaha memberinya tekanan karena tak kunjung mengutarakan isi pikiran yang sebenarnya. Padahal, dari gelagatnya setelah kutanyai tentang gadis itu, kutaksir bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Namun, seolah ada gunung kokoh dalam diri wanita tambun itu, sehingga dia hanya tersenyum sambil tetap bersikeras bahwa kedua sosok di foto itu tidaklah mirip.

“Makcik kira memang ndok mirip, Dik. Tengok, mata dia pun beda.”

Mendapati jawaban itu, aku mendesah kecil sambil sebisa mungkin menyembunyikan rasa kecewa. Apa boleh buat? Jika Makcik tetap bersikeras dengan pendapatnya, aku terpaksa mengiakan. Lagi pula, tak ada gunanya aku memaksa kehendak seseorang, apalagi orang asing yang baru kutemui hari ini.

Makcik menelungkupkan fotonya di atas meja ketika salah satu dari tiga lelaki di meja sebelah memanggilnya. Kuperhatikan mereka sepintas seraya mengambil foto itu, lalu mencermati wajah keduanya lagi. Apa iya mereka tidak mirip? Pandanganku tak terlepas dari sana hingga tiada siapa-siapa lagi di warung makan ini. Bahkan Makcik pun tak terlihat lagi setelah urusannya dengan pelanggan.

Aku mengernyit. Tak perlu diragukan lagi, keduanya memang begitu mirip.

Bermenit-menit berlalu, tetapi Makcik belum juga terlihat. Mungkin dia sedang mencuci piring di dapur atau sebagainya. Maka aku memanggilnya karena hari sudah kian petang. Aku perlu bertemu dokter Mayang sebelum gelap. Semoga dokter itu ada di puskesmas.

Mendapati panggilanku yang ketiga, wanita tambun itu akhirnya muncul dengan langkah lebar-lebar. Wajahnya terlihat sebagaimana pertama kali aku melihatnya, tak lagi mengandung gelagat dan ekspresi mencurigakan. Setelah membayar makanan sejumlah total yang dia hitung, aku bertanya padanya jalan menuju puskesmas sebelum pergi. 

Sensasi berada di permukiman tepi pantai, di panas terik bahkan setelah tengah hari, tetap saja tak membuatku terbiasa. Memang angin laut dengan ganasnya menyembur padaku, tetapi rasanya tak sanggup menandingi terik yang ditimbulkan dari atas sana. 

Sambil melangkah santai, kuperhatikan jejeran rumah di sepanjang jalan tanpa hadirnya manusia. Bahkan nyaris semua pintu-pintunya tertutup, seolah menolak kehadiranku. Aku tak tahu apa penyebabnya. Apa ini yang dimaksud lelaki datar tadi tentang bahaya di pulau ini? Lantas aku meringis miris. Bahaya dari mana kalau semua warga di sini tak ada yang peduli pada pendatang? Lagi pula, aku hanya perlu fokus dengan tujuanku, dan ramah-tamah bukanlah salah satunya.

Setiba di persimpangan dermaga, aku berbelok kanan—ke arah utara, sebagaimana yang dikatakan Makcik. Setelah itu, aku lurus saja menyusuri jalan tanah menanjak dan menurun, di antara rimbunan pohon kelapa dan rumah-rumah yang berjarak. Beberapa menit berlalu—yang terasa seakan berjam-jam—sampai kutemui simpang empat. Aku ingat bahwa harus ke kanan. Setelah menempuh beberapa menit lagi, bangunan puskesmas kini berada di depanku.

Aku terengah-engah. Kuseka peluh di kening sebelum ia mengalir sampai ke pipi. Tak kusangka, aku sepayah ini. Andai saja dulu aku rutin olahraga, mungkin perjalanan tak seberapa jauh ini bukan masalah yang berarti.

Susah payah kuatur pernapasan sambil memperhatikan bagian depan puskesmas itu. Kondisinya memperihatinkan, seperti tak terurus. Sebagian besar lapisan cat putih-biru di dindingnya memudar, mengelupas, bahkan dihiasi plak hitam. Aku sedikit menengadah, lalu terlihat atap birunya yang usang dan karatan. Sontak aku mengernyit. Keraguan menyerangku. Apa benar puskesmas ini masih beroperasi?

Sambil melangkah, kutelaah sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, hanya halaman dipenuhi pasir dengan hiasan rumput-rumput tipis. Lantas pandanganku kembali lurus, terpaut pada pintu masuknya yang tertutup. Memang aneh melihat pintu fasilitas umum yang seolah tak menerima pengunjung. Namun, tak masalah. Mungkin memang begini situasi puskesmas di desa terpencil.

Di depan pintu kembar bercat biru itu, aku bergeming. Kuatur degup jantung yang mulai tak terkontrol. Selangkah lagi berhasil kulalui, meski masih terbilang jauh dari yang kuharapkan. Namun, bukan berarti perjalananku sia-sia. Aku yakin sekali, dokter bernama Mayang itu tahu lebih banyak karena dialah rekan sejawat Rama, yang bahkan membantunya melakukan aksi sosial di pulau ini.

Setelah menelan ludah, kupegang erat salah satu gagang pintunya, tetapi bukan untuk segera menekannya. Aku terdiam karena tiba-tiba muncul perasaan ganjil. Segera aku menoleh ke kiri ketika instingku merasa kalau ada yang sedang memperhatikanku dari balik salah satu pohon kelapa. Akan tetapi, perasaan itu rupanya sekadar ilusi saja. Cukup lama aku menanti, menyimak dengan mata menyipit, tetapi takada siapa-siapa yang bisa kutangkap.

Kuhela napas. Benar, aku hanya terlalu gugup sehingga kepikiran yang bukan-bukan. Lalu setelah hatiku lebih mantap, kutekan gagangnya sambil menarik pintu terbuka, mendengar derit nyaringnya yang seolah menerobos sukma.

Dengan nyaris berbisik, kuucap, “Permisi,” ketika sebelah kakiku melangkah masuk. Namun, hanya aroma antiseptik dan obat-obatan yang menusuk hidungku, tanpa terlihat satu pun perawat atau pasien. Sambil menyernyit, aku terus berjalan. Setiap langkahku berat rasanya, seolah alam bawah sadarku menolak untuk masuk lebih dalam lagi. Namun, instingku melawannya dengan berkata bahwa inilah jalan yang benar.

Lihat selengkapnya