Hangat dan nyaman. Sudah lama aku tak merasakan sensasi melegakan ini. Mataku masih enggan membuka, masih berat, tetapi pendengaranku sudah berfungsi sepenuhnya. Bisa kudengar senandung irama favorit buah hatiku, disertai derap kecil langkahnya yang berlari-lari tak jauh dariku.
Aku menyimpul senyum. Namun, dalam takzimku menikmatinya, suara langkah dan senandung itu mendadak hilang. Cukup lama hanya terdengar hening sebelum akhirnya dia berseru antusias.
“Mama!”
Kudengar derap langkah mungil itu mendekat. Aku begitu tak sabar untuk segera menyaksikan sosoknya. Maka, meski rasanya masih terlalu berat, aku memaksa membuka mata.
Gelap gulita.
Aku mengernyit bersamaan dengan sunyi senyap yang kembali menjelma. Di mana Raisha?
Susah payah kupaksakan tubuh untuk bangkit. Rasa ngilu menusuk-nusuk setiap sendiku tanpa ampun. Namun sensasinya tak seberapa jika dibanding hatiku yang seolah tercabik karena tak dapat melihatnya. Dengan bertumpu pada pinggul dan sebelah siku, aku berbaring miring sambil mengatur napas yang terengah.
“Raisha?!” panggilku, tetapi hanya timbul gema tanpa adanya balasan.
Aku mengerjap untuk membiasakan pandangan dalam gelap. Namun, tetap saja tiada apa-apa yang bisa kulihat. Aku memaksa bangkit meski sempoyongan. Nyaris saja aku terjerembap, tetapi untungnya masih bisa kutahan. Aku tak tahu harus ke mana menuju, jadi aku hanya asal melangkahkan kaki dengan pelan dan hati-hati.
Setiap langkahku, sambil mengabah sebelah tangan, berpacu dengan detak jantung yang bergemuruh. Aku tak tahu sudah berjalan berapa lama, tetapi rasanya terlampau lama tanpa dapat kutemukan ujungnya. Aku bergidik saat mulai memikirkan keganjilan ini. Sepanjang aku melangkah, pijakanku terasa kosong. Aku seolah sedang berada dalam kegelapan hampa tak berujung.
Perasaanku berkata, menyusuri kehampaan ini tidak akan membawaku ke mana-mana. Maka aku mematung sambil menajamkan pendengaran untuk mencari petunjuk apa saja. Tepat di saat inilah aku sadar bahwa telah membuat keputusan yang salah.
Darahku seolah membeku saat deru napas yang dingin menggelitik telinga kananku. Lalu, tubuhku menjelma kelu tatkala pelakunya mulai berbisik dengan suara serak dan parau.
“Seharusnya kamu tak datang ke sini.”
Tanganku refleks menutup mulut yang nyaris berteriak sekencang-kencangnya. Kutahan napas sambil memejam mata, berusaha tak menarik perhatian si pembisik. Dalam hatiku berdoa supaya lekas terlepas dari situasi ini, yang pikiran logisku beranggapan hanyalah sebuah ilusi.
Jantungku seolah melompat saat tiba-tiba ujung bajuku ditarik pelan berkali-kali. Untuk yang satu ini, tak kuasa aku menahan rasa penasaran yang memuncak cepat. Meski gemetar, kupaksa untuk membuka mata untuk melirik pelakunya. Lalu, setelah mataku terbuka, plafon usang yang familier menyambutku.
Ternyata hari sudah malam. Kusadari itu setelah mengintip lewat sudut jendela dengan gorden tak menutup sempurna. Ruangan ini redup berkat lampu-lampunya yang seolah lelah. Kepalaku semakin pening tatkala menatap kipas renta yang berputar di atas sana, yang bunyi deritnya sangat mengganggu. Maka aku berpaling, menyadari bahwa kini sedang berbaring di ranjang paling ujung—di tempat yang sesaat lalu diduduki figur Raisha bergaun putih berkilau.
Kutarik napas dalam dan merasakan nyeri menusuk di dada. Kutahan sakitnya dengan meringis di setiap tarikan napas. Berkali-kali kulakukan itu hingga akhirnya nyeri ini memudar dan sepenuhnya hilang. Aku bangun perlahan, duduk bersandar pada kepala ranjang. Fenomena aneh tadi masih terngiang jelas dalam benakku.
Benarkah aku seharusnya tidak ke sini?
Kalau kupikir-pikir, beragam kejadian aneh terus menerus menimpaku sejak dari perjalananku kemari. Tidak, bukan begitu. Bahkan hal-hal aneh juga terjadi saat aku masih berada di rumah. Dengan kata lain, keganjilan ini bukan karena pulau terpencil ini, melainkan berkat gadis pucat yang berfoto bersama Rama. Benar. Meski sama-sama aneh, aku lebih percaya dengan kemungkinan yang ini.
Sekelabat aku tertegun. Tunggu. Jika aku tak salah ingat, gadis itu pernah menampakkan wujudnya, pada malam itu, di dalam kamar hotel. Bagaimana jika bukan Raisha yang selama ini menampakkan wujudnya melainkan gadis pucat itu?
Aku terlalu hanyut dalam pikiran hingga bunyi engsel karatan dari pintu yang terbuka membuatku nyaris terperanjat. Sontak pandanganku tertuju pada asal suara. Aku mengernyit tatkala tampak perempuan asing yang belum pernah kutemui sebelumnya, tetapi dari setelannya sangatlah mudah kukenali.
Wanita itu tersenyum ketika pandangan kami terpaut. Dari garis wajahnya yang semakin jelas kulihat seiring dekatnya dia, kutaksir bahwa usianya sepantaran Rama—mungkin lebih tua beberapa tahun. Rambutnya dipotong sebahu, agak kusut, tetapi masih hitam mengilap. Jas putihnya tampak sudah menguning, pertanda pengalaman dan dedikasinya di dunia medis tak perlu lagi diragukan.
“Ternyata kamu udah siuman.”
“Dokter … Mayang?” tanyaku pelan, nyaris berbisik.
“Oh! Kamu kenal saya?”
Nada suaranya terdengar antusias. Senyumnya pun lebih lebar, tetapi dapat kutangkap ada kesan keengganan samar dari sana.
Tidak. Aku tak boleh menduga tanpa dasar begini. Pasti dia yang telah merawatku selama tak sadarkan diri. Tidak sepantasnya aku menaruh curiga pada penolongku. Sebentar. Sepertinya aku tak melihat orang itu, yang bisa dibilang penyelamat pertamaku.
Pergi ke mana dia?
“Gimana keadaan kamu? Saya periksa lagi, ya.”
Lamunanku buyar bersama datangnya kalimat itu. Kuperhatikan dia yang sudah siap dengan senter kecil di tangan. Dia menyuruhku berbaring, yang kuturuti begitu saja. Setelah itu, dia memeriksa rona mataku satu per satu dengan bantuan cahaya senter.
“Bagus,” gumamnya seraya mengangguk kecil.
Lalu dokter Mayang menyiapkan stetoskop untuk memeriksa detak jantungku hingga ke ulu hati dan perut. Segera setelah selesai, dia tersenyum lagi padaku. Kali ini senyuman yang lebih manis. Setelah itu, dia menuju lemari di depan ranjang dan menyisir laci-lacinya—mencari entah apa. Saat inilah kesempatanku bertanya padanya.