Sunyi. Terlalu hening. Setelah aku memasuki ruang kecil yang ternyata toilet ini, aku tak dapat mendengar apa-apa lagi. Bahkan, suara langkah kaki mereka yang mengejarku, seruan-seruannya, mendadak hilang bagai ditelan kekosongan.
Aku refleks bertolak karena gadis itu mendekat dengan seringai ganjil masih terlukis di wajah pucatnya. Punggungku terasa dingin tatkala menyentuh sisi pintu.
“B-berhenti! Jangan mendekat!” seruku mengancam, tetapi gema suaraku dipenuhi kegugupan.
Seketika dia tertawa mendengar ancamanku yang payah.
“Mama mengapa takut denganku? Aku kan anaknya Mama.”
Tidak. Bukan. Kamu bukan anakku. Kamu bukan Raisha! Ingin aku mengutarakan itu langsung padanya, tetapi lidahku mendadak kelu. Bahkan kelu ini menjalar ke sekujur badanku tatkala dia sudah berada selangkah di depanku.
Gadis pucat itu cekikikan, semakin lama kian menggema. Matanya kini memelotot menatapku, seolah meminta pembenaran.
“Aku anaknya Mama, kan?”
“Kamu … bukan Raisha,” bisikku akhirnya, setelah susah payah, pun disertai linangan air mata.
“Siapa bilang aku Raisha?” gadis itu menyondongkan wajahnya, sambil tersenyum mendongak padaku—terlalu dekat dengan wajahku. “Aku kan anak Mama yang lain—anaknya Papa—yang suka ditinggal sendirian. Aku kesepian terus, Ma. Temani aku main, yuk!”
Aku tertegun. Ternyata benar dia anak Rama yang lain. Namun, anak dari siapa? Dan bagaimana dia bisa jadi seperti ini? Aku sangat ingin mengetahuinya. Maka kuberanikan diri bertanya, tak peduli pada gemetar tubuhku berkat auranya yang terlalu menekan.
“Kamu … benaran anaknya Rama? Nama kamu siapa?”
Kutelan ludah saat menanti jawabannya, sambil sebelah tanganku diam-diam meraba sisi pintu, berusaha mencari kenopnya.
Aku penasaran, tetapi merasa harus terbebas dari situasi penuh tekanan ini. Namun benarkah ini keputusan yang tepat? Tinggal sedikit lagi aku bisa mendapat jawaban yang kubutuhkan melalui anak ini—kesempatan aneh yang langka. Sementara di sisi lain, instingku berkata, aku tak boleh mengikuti permainannya yang menjurus pada bahaya mengancam nyawa.
Pilihan apa yang harus kuambil?
“Rama?” balas gadis itu dengan wajah sedikit menjauh, memperlihatkan ekspresi penuh tanya. “Ya, aku rasa itu memang nama Papa.” Dia lalu menatapku dengan senyuman aneh, yang kutaksir mengandung tujuan tersembunyi. “Ayo, temani aku main, Ma!”
“Kamu belum jawab pertanyaan tadi. Siapa nama kamu?”
“Heeh … kenapa? Itu kan tidak penting, Ma …. Kita main aja, yuk!”
Dapat. Kini kenopnya sudah kugenggam. Aku siap memutarnya kapan saja, mendorong pintunya untuk segera keluar dari sini. Sekarang aku tinggal memantapkan pilihan: kabur dari sini atau mencari jawaban darinya. Tidak ada waktu lagi. Aku harus segera memutuskannya.
Untuk itu kuperhatikan wajahnya, yang kini menampilkan ekspresi memelas. Tingkahnya yang menggemaskan sontak mengingatkanku pada Raisha. Dadaku pun memanas, membawa rindu yang terkubur dalam. Hasratku membuncah, mendorongku untuk membelai rambutnya sebagaimana yang sering kulakukan pada Raisha.
Tangan kananku masih bergetar saat mengabah, menuju kepalanya perlahan. Wajah gadis itu semringah, seakan-akan menantinya. Kubelai lembut rambutnya hingga ke pipinya yang sedingin es, membiarkan segala emosiku tersalur padanya.
Secara refleks aku melepas pegangan pada kenop, lantas memerosot untuk menyejajarkan wajahku pada gadis pucat itu. Sambil memandangnya, dalam kunang berkat air mata, kedua tanganku membelai setiap senti wajahnya—mulai dari rambut, pipi, hingga hidung dan bibirnya.
“Raisha … sayang …,” kataku, sesenggukan. “Mama kangen banget sama kamu ….”
Aku hendak memeluknya, tetapi sontak membeku. Aku terperanjat dengan mata memelotot. Wajah gadis itu berubah. Dia tak lagi memelas nan menggemaskan, tetapi menyeringai lebar dengan kedua mata menghitam.
“Udah dibilang aku bukan Raisha!”
Bersama tutur kata bergema itu, tanpa sempat aku memproses sepenuhnya, sekitaranku mulai berputar. Pelan dan perlahan putaran itu, hingga berujung terlalu cepat dan kejam. Seisi toilet ini pun memudar. Keempat sisi dindingnya, wastafel dan cerminnya, bilik-biliknya, semuanya menggelap hingga berujung lenyap tak bersisa.
Aku tertolak hingga nyaris terjerembab. Sambil bersimpuh, kusaksikan wajah gadis itu yang kini mengeras dengan rona kian pucat. Aku refleks merangkak mundur saat dia mendekat perlahan.