Bisikan dari Masa Lalu

Adnan Fadhil
Chapter #12

Rahasia Kelam

Jantungku terasa seolah diremas terlalu kuat. Kutatap gamang lentera yang cahayanya bergoyang syahdu tak peduli. Sementara gemetar tubuhku semakin menggila, semakin erat pula peganganku pada buku bersampul kulit. Sebelumnya aku tak bisa mengingatnya. Namun, sekarang berbeda. Seolah kata-katanya memercikkan api pada pusaran jiwaku, hingga segalanya pun menjelma kian jelas.

Dapat kuingat—lebih tepatnya merasakan—bagaimana aku terbaring dalam dinginnya meja operasi, dalam panasnya cahaya menyilaukan mata. Dan sosok yang kukira sangat aku kenali—luar dan dalam, ternyata sama sekali asing bagiku. Sosok Rama kini terasa jauh tak terjangkau, seolah dia bukan lagi orang yang benar-benar aku sayangi.

Aku merasa tertipu. Meski masih tetap menyayanginya, aku … aku—

“Rama Adinata,” ulangnya, menekankan nama itu seakan memastikan aku tak salah dengar. Atau memaksaku untuk segera membenarkannya sekarang juga.

Kualih pandang pada lelaki itu, yang sosoknya jauh lebih asing bagiku. Dia menegakkan duduknya, membusungkan dada. Tatapan mata dan gerak-geriknya seperti berusaha menekanku, mengintimidasi. Namun, aku tak takut padanya, apalagi percaya. Aku jauh lebih mengenal Rama ketimbang dia, mereka, atau siapa pun juga.

Maka kujawab dia dengan suara bulat dan meyakinkan. “Ya, saya istrinya. Tapi bukan berarti saya percaya yang kamu bilang. Saya kenal Rama lebih dari kamu—dari siapa pun. Dia enggak mungkin begitu. Enggak akan mungkin!”

“Ya, saya ngerti kekhawatiran kamu.” Pria itu bangkit, lalu tanpa ragu mendekat. Aku sontak bertolak. “Kami belum punya bukti konkret, tapi udah cukup untuk mencurigai keterlibatannya. Dari catatan kamu, saya rasa—”

“S-setop!” Seruku demi memotong kalimatnya—juga pergerakannya.

Dia bergeming instan, membisu.

“Mau ngapain kamu?” selidikku, refleks melindungi daerah sensitif dengan buku di genggaman.

Namun dia tak menjawab, malah menatap lekat wajahku dengan ekspresi sukar dipahami. Dia lalu mengangkat kedua tangannya ke udara seolah menyerah. Atau, paling tidak, menenangkanku.

Bagus. Memangnya siapa dia sampai berani mendekat—

Tiba-tiba kusadari sesuatu. Betapa bodohnya aku! Bagaimana bisa aku melupakan hal terpenting dari segalanya? Aku sama sekali tidak tahu identitas lelaki ini. Bahkan tak pernah mencari tahu itu sebelumnya. Instingku berkata, bisa jadi dia salah satu dari orang-orang berbahaya itu. Gawat. Kalau begini aku harus segera pergi dari sini. Sebelum semuanya menjadi lebih buruk.

Maka sambil menahan napas, aku bergerak berdasarkan naluri, bergeser sedikit demi sedikit menyusuri dinding. Pandanganku masih mengarah padanya, lalu melirik tas selempangku di sandaran kursi. Ponselku pasti ada di dalamnya. Aku memerlukannya untuk mencari pertolongan. Namun bagaimana caraku mendapatkannya?

Pria itu seperti tak sudi menyingkir dari tempatnya berdiri. Bahkan matanya terus saja mengikuti ke mana arahku bergerak.

Aku sudah separuh jalan. Dengan dua atau tiga langkah besar, aku pasti bisa meraih pintu keluar. Namun, aku belum menemukan cara mengambil tas selempangku tanpa kemungkinan tersentuh olehnya. Apa aku tinggalkan saja? Jangan! Aku pasti memerlukannya nanti.

Dalam pikiranku yang kian hanyut, aku tersentak sadar ketika lelaki itu kembali angkat suara. Dia menyuruhku supaya tenang—dengan gaya tanpa ekspresinya, seolah tahu niatku untuk melarikan diri dari sini. Tidak. Dia tidak akan pernah tahu apa yang aku rasakan—akan betapa rapuhnya hatiku sehingga dapat hancur bahkan oleh getaran kecil sekali pun.

Dia mengangkat sebelah kaki. Refleks aku menggeser tubuh, menjauhinya.

Kupelototi dia seraya berseru, “J-jangan mendekat!”

Benar. Tidak ada cara lain lagi. Kuputuskan untuk meninggalkan saja tasku di sini. Diriku jauh lebih penting dibanding apa pun. Maka kutarik napas, lalu melangkah lebar menuju pintu keluar.

“Shavira … tunggu!”

Seolah ada akar yang melilit erat kedua kaki, aku mematung instan. Sekujur badanku menegang. Mengapa dia … tahu namaku?! Mataku berkaca-kaca saat menatap lelaki itu, yang sebelah tangannya mengabah seakan ingin memegangku, ingin menarik dan membekapku.

“Tenanglah. Di luar sana berbahaya. Lebih baik kamu di sini dulu.”

Kupaksa melepaskan diri dari jerat ini, tetapi hanya bisa untuk mundur hingga punggung mencium dinding kayu nan lembap. Aku merasa terkungkung, tak bisa lagi ke mana-mana. Tatapannya yang melekat padaku seolah menekankan superioritasnya terhadapku.

Dengan langkah perlahan, dia mendekatiku.

“Setop! Jangan ke sini … berhenti!” kecamku, panik. Dia memang menurutiku, tetapi bukan berarti perasaanku bisa tenang begitu saja. “S-siapa kamu? Mengapa kamu bisa tau nama saya?”

Sunyi senyap.

Cukup lama kami hanya saling tatap. Sementara aku berusaha menebak isi hatinya—tujuannya, kulihat dia masih dengan ekspresi yang sukar dibaca. Aku menunggu jawabannya, tetapi tiada yang keluar dari mulutnya. Apa dia sengaja? Atau semua ucapannya memang hanya pura-pura?

Dia menghela napas dalam. “Saya Reza—Reza Mahesa. Kamu bisa percaya saya. Kita ada di pihak yang sama.”

Tanpa kusadari, jarak kami semakin dekat. Rupanya dia sama sekali tak mengindahkan perintahku.

“Pihak yang sama?” Aku menggeleng cepat, air mataku mulai tumpah. “Enggak mungkin! Kamu—kamu pasti salah satu dari mereka. Ya! Kamu pasti bakal bawa saya ke mereka.” 

“Saya paham. Wajar kalau kamu susah percaya. Tapi, coba kamu pikir. Kalau memang saya salah satu dari mereka, kamu enggak mungkin ada di sini.”

Jantungku seolah terjun bebas. Benar katanya. Kalau dia salah satu dari mereka, buat apa dia repot-repot membawaku ke sini? Tetapi apa aku bisa memercayainya? Tidak. Aku tak boleh percaya dia begitu saja. Cukup sudah aku kecewa karena terlalu memercayai orang lain.

Lihat selengkapnya