“Lepasin!” aku berteriak, nyaris histeris. Refleks aku mendorongnya lalu melompat menjauh. “Mau ngapain kamu?!” tukasku sembari menutupi bagian sensitif dengan tas.
Reza menatapku dengan raut wajah datar yang bingung. “Kamu ….” Dia tiba-tiba mendesah, tak jadi melanjutkan. “Lupakan,” katanya sembari bangkit, lalu menduduki sisi ranjang. “Apa ada lagi yang mau kamu tau?”
Kali ini aku yang duduk di kursi. Wajahku menekuk, memandangi lentera dengan degup jantung meningkat berkat kejadian memalukan tadi.
Seketika terbesit olehku tentang Bintang. Lalu rasa nyeri sontak menusuk hatiku, mengirisnya dalam. Masih bisa kurasakan betapa syoknya aku saat menyadari dia yang ternyata penuh tipu muslihat. Segalanya mulai masuk akal sekarang. Alasan dia waktu itu tersenyum ganjil. Atau gelagatnya saat dia ingin sekali memfoto cincinku.
Bagaimana dia bisa selihai itu dalam merajut kebohongan? Aku butuh jawaban, sehingga bisa menalar alasannya mengkhianatiku.
Maka aku berdeham, lalu berkata, “Ada satu lagi. Tentang Bintang—sahabat saya—yang tega menghianati saya. Kamu tau sesuatu tentang dia?”
“Bintang?” Reza mengernyit, tampak bingung. “Siapa itu?”
Sontak aku tertegun. Mengapa dia tak mengenal Bintang, yang jelas-jelas pemimpin gerombolan preman itu?
“Bintang,” tekanku lagi. “Yang memimpin orang-orang sangar tadi. Yang memerintah mereka buat ngejar aku.”
Karena Reza tak segera menjawab, aku langsung mendeskripsikan Bintang. Rambutnya, perawakannya, bahkan gelagatnya saat menemuiku dengan segala rahasianya.
Setelah mendengar itu, Reza pun tampak menyadari seseorang. “Bintang, ya?” jawabnya pelan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri. “Kalau Bintang yang kamu maksud memang seperti yang barusan kamu katakan, jawabannya hanya satu. Dia Ratna Utami.”
Jelas aku tertegun. Mendengarnya terasa seperti dadaku dihantam palu godam. Ternyata semua tentangnya palsu, bahkan namanya penuh kebohongan. Refleks aku mengepal tangan. Mataku terpejam, membiarkan tangis menguasaiku barang sekejap. Lalu, kubuka mata, menatap tajam seolah dia tepat berada di depanku. Benar. Dialah akar masalahnya. Bintang—atau siapa pun namanya, dialah yang harus membayarnya.
Aku tak menghitung sudah berapa lama Reza, dengan sabar, menantiku memantapkan hati. Jujur, aku malu karena terus menerus mengeluarkan air mata. Apalagi di hadapan lelaki yang bahkan baru kukenal namanya saja.
Lalu, setelah aku menatapnya dengan wajah yang menandakan aku sudah baik-baik saja. Reza pun berkata, “Sesuai janji, sekarang gantian saya yang nanya kamu. Apa yang mereka cari?”
“Kamu belum ngasih penjelasan,” jawabku spontan. “Apa benar SUV yang ngejar-ngejar kami waktu itu … suruhan sindikat?”
Oke. Aku merasa kalau sudah berlaku tak adil padanya. Dia sudah menjelaskan panjang lebar tentang yang kuinginkan, yang menjawab hampir seluruh pertanyaanku. Sedangkan aku, lagi-lagi berusaha menghindari kewajiban. Namun, rupanya Reza orang dengan tingkat kesabaran tinggi. Tanpa sedikit pun memperlihatkan raut kesal, dia langsung menjawab pertanyaanku.
“Dari penelusuran kami … iya. Dan pasti ada tujuan di baliknya. Terbukti dari hilangnya ponsel dan tablet mendiang suami kamu. Dari situ keping demi kepingnya mulai terhubung. Kecurigaan kami tentang hubungan Rama dengan Sindikat makin besar.”
Alih-allih merespons, aku malah menerawang pintu yang berderik tertiup angin laut. Di luar sana, langit mungkin sedang mendung. Mungkin diam-diam menuturkan rasa kasihannya padaku yang masih saja merindukan Rama.
“Tapi, melihat kamu yang sekarang jadi target mereka,” lanjutnya. “Saya yakin kamu memegang sesuatu yang penting—sesuatu yang mereka mau.”
Ya. Aku tahu itu. Tahu sekali. Mereka menginginkan cincin safir-ku, peninggalan Rama yang paling berharga, yang baru saja kupercayai menyimpan jiwa Raisha. Lebih tepatnya, mereka menginginkan deretan angka yang tersemat di bawahnya. Namun—kualih pandang pada lelaki yang dengan sabar menanti jawabanku—bisakah aku mempercayainya?
Seakan tahu apa yang tengah kupikirkan, Reza mendekatiku. Dia bergeming di depanku, memperlihatkan wajah yang tingkat kekakuannya mengendur. Bahkan dapat kutaksir, meski samar, raut agak memohon di wajahnya. Sosok yang menurutku selalu menjaga tampang datarnya, terasa seolah sedang kehabisan pilihan—juga waktu.
“Saya akui, memang susah rasanya—terutama bagi kamu—untuk percaya orang asing. Tapi ingatlah satu hal ini: kita ada di pihak yang sama. Saya di sini untuk membongkar sindikat itu, Shavira. Dan saya yakin, kamulah pemegang kepingan terakhir. Suka enggak suka, kamu udah terlanjur masuk dalam masalah ini.”
Hening menyerbu.
Kami saling menatap, tetapi tak lagi dengan dingin, melainkan seperti saling menghangatkan. Baru kali ini aku melihat garis romannya yang seperti itu. Wajahnya yang masih keras, tetapi seolah dapat melindungiku, yang dapat kuandalkan.