Aku tak bisa mencerna apa yang saat ini terjadi. Dalam berkunangnya pandangan, kurasakan tubuhku seperti melayang. Bahuku menubruk entah apa—yang jelas terasa berat dan menyakitkan. Dan berakhir dengan bokong yang mendarat di tanah padat berpasir.
Dengung perlahan sirna. Sayup-sayup dapat kudengar deru napas Reza yang berat dan tersengal. Lalu, deru napasnya berganti derap langkah-langkah lain yang tak beraturan. Semakin lama, derap itu semakin terdengar dekat, juga bertambah cepat.
Dengan segenap upaya, aku mengerjap. Kunang-kunang yang beterbangan di sudut mataku seketika menjauh. Warna oranye bercampur biru yang pertama kali dapat kulihat. Lalu aku tertegun ketika mendengar suara-suara ricuh di sisi butaku.
Walau masih pusing, kupaksa menoleh ke kiri. Aku terbelalak. Napasku tertahan saat melihat Reza tengah bergumul dengan tiga orang preman, bertaruh nyawa. Reza, walau bertangan kosong, tampak lebih dominan meski tiga pengeroyoknya bersenjata parang. Kulihat lelaki itu berkali-kali dengan gesit menunduk dan melompat demi menghindari tebasan demi tebasan. Lalu, satu preman berhasul ditumbangkan dengan pukulan telak di dagunya.
Timbul jeda singkat. Reza melirikku sekilas, lalu bergeser perlahan mendekatiku sambil matanya kembali fokus pada kedua preman.
Seolah tak sabar, salah satunya menyerbu Reza dengan teriakan bak orang kesurupan. Tangannya terangkat, siap menebas kapan saja. Reza dengan gesit menunduk, lalu meninju perutnya. Namun preman itu belum menyerah, berkali-kali dia kembali mengayunkan senjatanya tanpa bisa mengenai targetnya.
Aku terlalu fokus pada pertarungan Reza sehingga melupakan preman yang satunya. Refleks aku berteriak ketika sadar bahwa preman itu sudah begitu dekat dariku. Dalam panik, aku bergerak menjauh. Kuambil gumpalan pasir dan melemparnya ke wajah preman itu. Aku tetap melakukannya berkali-kali meski sadar kalau itu tak berguna.
“Pergi!” seruku. “Jangan mendekat!”
Tepat saat dia nyaris merengkuhku, aku berteriak sekuat tenaga. Mataku memejam. Kedua tanganku refleks melindungi kepala.
Sunyi senyap.
Berdetik-detik berlalu tanpa terjadi apa-apa. Maka kuberanikan diri membuka mata, lalu tertegun. Preman itu sudah tumbang.
Reza mendekatiku, lalu mengulurkan tangan. Kutatap wajahnya sekilas, mendapati ada goresan kecil di sebelah pipinya yang penuh bercak hitam, sebelum menyambut tangannya.
“Trims,” kataku pelan.
Kubersihkan sisa-sisa pasir yang lengket di celana dan bajuku. Semua persendianku terasa pegal, tetapi aku tak mau mengeluh. Pandanganku berkeliling, lalu terpaku pada punggung Reza. Kudekati dia, berdiri di sisinya, menyaksikan pemandangan yang sama.
Api yang melahap gubuk itu semakin membesar. Bunyi derik dari papan-papannya yang patah berhasil membuat air mataku menetes. Ada seseorang di dalam sana, yang telah tiada. Seharusnya dia dikebumikan sebagaimana mestinya, bukan dipaksa mejadi abu. Meski tidak mengenalnya, hatiku tetap merasa pedih. Maka, kupanjatkan doa untuknya. Semoga dia tenang di alam sana.
Pemikiranku buyar ketika Reza berucap, “Kelihatannya ini terlalu bahaya buat kamu.”
Refleks kutatap dia dengan pandangan tak setuju.
“Sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Saya akan mengantar kamu ke rumah Ben—si pemilik kapal. Memintanya mengantarmu ke Ranai, malam ini juga.”
Pergi, katanya? Enak saja! Aku takkan pernah bisa tenang sebelum menemukan kebenaran, dengan mata kepalaku sendiri.
“Lho, enggak bisa begitu dong!” protesku. “Kita kan udah setuju buat saling bantu! Mengapa jadi begini sih? Terus, gimana dengan keselamatan saya? Mereka sedang mengincar saya—mengincar cincin saya. Mau sembunyi di mana pun, saya enggak akan bisa aman selama mereka masih ada.”
“Di Ranai ada tim saya. Kamu akan lebih aman bersama mereka. Bila perlu, saya akan minta satuan lain buat menjaga kamu.” Dia menatapku kian lekat, berusaha menekan.
Namun, aku tak lagi mempan dengan gaya kuno itu. Maka aku membuang muka sambil mendesah kasar, pertanda tak setuju.
“Jangan buang-buang waktu,” ucapku sambil melenggang ke arah yang kuduga lokasi kami menuju. “Situasinya bakal lebih bahaya kalau kamu harus mengantar saya ke pelabuhan dulu. Lebih baik kita cepat-cepat ke sana.”
Dapat kudengar decakan kesalnya, sebelum dia menyerukan namaku sembari menyamakan langkah. Akhirnya, kami tetap dengan rencana awal. Menuju perkebunan cengkeh bersama-sama.
***
Aku sudah menduga bahwa perjalanan menuju perkebunan cengkeh ini tidak akan mudah. Tetapi, ternyata medan yang harus kami lalui lebih sulit dari perkiraanku. Ketika menyusuri hutan dekat pantai, dalam gelap dan dengan bayang-bayang dikejar preman, aku harus berkali-kali menepi demi mengambil napas. Lalu, saat tiba-tiba jalan setapak ini tiba-tiba menanjak, aku tak bisa lagi menahan keluh kesahku.
“T-tunggu!” panggilku pada Reza yang sudah berjarak cukup jauh di depan sana. “Bentar, bentar. Istirahat sebentar.”
Setelah memastikan kalau lelaki itu tak meninggalkanku sendirian, barulah aku menepi, tanganku memegang salah satu pohon demi menahan tubuh yang letih. Cahaya senter Reza menyoroti wajahku saat dia mendekat, membuatku refleks menutup wajah.
“Hei! Jangan ngarahin senternya ke sini terus.”
“Jangan ngeluh. Ayo lanjut.”
“Mengapa kamu enggak bawa air minum tadi?” keluhku. Padahal, aku ingat jelas bahwa ada tiga botol besar air minum yang dia keluarkan dari tasnya.
Reza memilih tak menjawab.