Gelap. Dalam sekali mataku terbuka, perlahan, kusaksikan lantai berkeramik kusam yang penuh bercak-bercak kehitaman. Lantai itu seolah bergerak, perlahan tetapi pasti, membawaku entah ke mana. Lalu mataku menutup lagi, merasakan beratnya, sebelum kupaksa membuka melihat pemandangan serupa. Begitu dan begitu lagi, berkali-kali. Namun tetap saja tak bisa aku melihatnya dengan jelas.
Tiada apa-apa yang dapat kurasakan dari tubuhku. Syaraf-syarafku seolah membeku, kebas, sehingga tak ada yang bisa kugerakkan. Dalam satu kedipan mata, entah sudah yang ke berapa kalinya, kusaksikan tubuhku seolah berputar, lalu terempas pada bantalan tipis keras yang seolah pernah kubenamkan wajah padanya.
Mataku terpaksa terpejam lagi. Tak bisa kubuka kali ini walau dengan paksa. Namun, pendengaranku yang awalnya hanya dengung berhasil menangkap suara lain. Sayup-sayup, tetapi dapat kutaksir bahwa itu suara perempuan yang sangat kukenali.
Aku tak bisa mendengar jelas perkataannya, pun dengan siapa lawan bicaranya yang tak pernah membalas barang satu kata pun. Kemudian, setelah keheningan singkat, kudengar samar derap langkah menjauh. Sepertinya aku ditinggal sendirian di sini, dalam kegelapan penuh ketidakpastian ini.
Terlalu lama keheningan menemaniku. Namun tetap saja belum dapat kubuka mataku, sekeras apa pun aku mencobanya.
Tidak. Tidak boleh begini. Aku harus bisa sadar sepenuhnya.
Maka aku mengatur napas, mengosongkan pikiran-pikiran mengganggu. Dalam hatiku mulai mencari kekuatan. Raisha … tolong Mama. Adinda … jika memang kamu masih ada di sini, masih mengharapkanku mengungkap kebenaran, bantulah aku membuka mata.
Aku tak pernah menyangka, saat secara mengejutkan, harapanku lagi-lagi terkabul. Penandanya adalah kemunculan rasa hangat dari cincinku yang menjalar melewati tangan, leher, hingga menuju mata dan ubun-ubun. Napasku sudah lebih lega. Aku pun membuka mata, tetapi hanya untuk menyaksikan kegelapan total. Seketika rasa panik menguasaiku.
Tenanglah. Aku harus tenang supaya bisa terbebas dari sini.
Sekali lagi aku mengatur pernapasan. Lalu setelah pandanganku jernih sepenuhnya, kucoba menggerakkan tangan dan kaki. Namun aku terperangah. Kedua tangan dan kakiku memang bisa bergerak, tetapi tak bisa ke mana-mana. ternyata Aku terbelenggu, terikat pada semacam tali berbahan kulit yang kasar.
Gawat. Bagaimana ini? Seketika terbesit dalam otakku kejadian itu. Saat aku merasakan berada dalam detik-detik berakhirnya nyawa, di atas meja operasi, di depan tatapan dingin Rama.
“Tolong …!” aku refleks berteriak. “Reza … kamu di mana?! Tolong aku! Reza—”
Seketika aku mengingatnya. Benar. Reza, satu-satunya orang yang bisa kupercaya di tempat ini, telah pergi meninggalkanku. Dia telah pergi menyusul Rama dan Raisha. Tak bisa kutahan air mata yang mengucur deras sekali.
Lagi-lagi, aku ditinggal sendirian. Aku … aku tak mau lagi sendirian!
Sekelabat timbul cahaya menusuk, yang silaunya seolah menyayat romanku. Refleks aku memejam mata seraya berpaling muka ke kiri. Tepat di saat itulah terdengar suara pintu yang dibuka. Disusul langkah kaki ringan yang mendekat perlahan.
Siapa di sana?
Kutatap arah datangnya, lalu memelotot penuh amarah. Itu Ratna Utami.
“Oh! Aku enggak nyangka, rupanya kamu bisa sadar secepat ini,” katanya, suaranya terdengar angkuh. “Apa biusnya kurang banyak, ya?”
“Mau apa kamu?! Lepasin aku!” teriakku sembari mengguncang cepat kedua tangan, berharap jeratnya dapat terlepas begitu saja.
“Sha, Sha. Memang, ya, kamu ini dari dulu enggak pernah berubah. Masih naif!”
Dia tertawa sambil menutup mulut dengan sebelah tangan agar tampak anggun—padahal tidak sama sekali! Kemudian, saat sudah berada di sebelahku, dia mengelus sebelah pipiku dengan punggung tangan. Refleks aku menjauhkan wajah agar tak terkena sentuhannya. Napasku memburu menahan campuran amarah, takut, dan jijik.
Sekilas terkenang olehku akan sosoknya dahulu. Sosok yang selalu tersenyum, bagaikan Bintang yang menuntunku dengan cahayanya. Namun, kini dia tak lagi sama. Kini dia hanyalah orang asing yang sama sekali tak kukenal. Air mata panas kembali menggenang.
“Kenapa … Bi, kenapa …?” desisku.
“Kenapa, kamu bilang?” Bintang tersenyum menghina, lalu mendesah. “Enggak ada alasan khusus. Ini memang tugasku.”
“T-tugas?”
“Ya!” Ratna berjalan pelan mengelilingiku sambil menerawang sekitar ruangan ini. “Kamu lihat ini? Semuanya yang ada di sini, aku yang mengelolanya. Mulai dari pencarian korban, penculikan, sampai pengambilan organ—” Ditatapnya aku setelah tiba di sisi lain meja operasi. “—oleh Rama. Semuanya aku yang mengelolanya.”
“Kalau memang Rama bagian dari kamu, mengapa kamu tega—”
“Bodoh!” Dia berteriak, memelototiku. “Rama itu bodoh, enggak tau balas budi. Padahal dia udah diberi fasilitas bagus, bahkan sampai dibuatkan klinik. Tapi tetap aja dia nekat melawan Sindikat—melawan Ayah. Itu sama aja dengan bunuh diri.”
Ratna terdiam tiba-tiba.
Sementara itu, perutku mendadak mual mendengar pengakuannya. Ternyata Rama ... benar-benar algojo berdarah dingin. Bekerja di bawah naungan Sindikat yang kejam demi mengambil paksa organ mereka yang tak bersalah. Sulit untukku mempercayainya, tetapi sekarang kebenarannya sudah terlihat jelas. Bisikan-bisikan mereka, ingatan itu, sudah cukup menggambarkan kebenaran tersembunyi tentang Rama.
Namun, terlepas dari itu, Rama telah mencoba untuk melawan Sindikat. Melawan sosok misterius yang dikenal sebagai Ayah—sang pemimpin Sindikat. Meski harus membayarnya dengan nyawanya sendiri, dengan nyawa Raisha, meninggalkanku sendirian, Rama berusaha mengungkap Sindikat dengan sesuatu yang tersimpan di MicroSD itu.
Sekujur badanku merinding. Kepalaku sontak berdenyut hebat, dipenuhi kepingan-kepingan informasi menyakitkan yang saling bertabrakan, mengaburkan batas antara suami yang kukenal dan penjahat yang baru saja dia gambarkan.