Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #1

Di Bawah Rumpun Betung

MOBIL tua melaju pelan di jalan berlapiskan tanah. Sejak zaman bergolak, jalan kampung itu tak pernah tersentuh aspal. Di musim penghujan, melewati jalan satu-satunya itu seperti perjuangan mengusir penjajah. Hanya bisa berjalan pelan. Berjalan cepat berarti tak selamat. Karena itu, untuk sampai ke jalan kabupaten yang cuma berjarak beberapa kilometer saja mesti berjalan sehari-semalam. Dan kini, hari sudah beranjak petang. Mobil angkutan umum berusia uzur itu belumlah sampai setengah perjalanan.

Di penurunan, lelaki bertubuh tambun yang berada di balik kemudi mencoba menghindari jurang. Ia telah salah membuat perhitungan. Mobil tua melaju terlalu ke tepi, ke arah tebing. Ban yang sudah gundul menginjak tanah lunak. Tanpa ampun, mobil tua terperosok di tanah lunak yang terbawa air dan menumpuk di bekas selokan. Mobil tua bisa berhari-hari tertahan di tempat itu. Tak mudah mendatangkan sejumlah laki-laki bertubuh kekar dari kampung untuk mengeluarkan mobil tua dari tanah berlumpur. Sementara, mendatangkan mobil derek, itu tak masuk akal.

Tak mungkin gadis muda itu berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan. Memang, di jalan tanah di tengah hutan itu tak pernah lagi terdengar perompak beraksi. Gadis muda masih bisa memelas kepada orang jahat, tapi macan kumbang dan babi liar tak bisa diajak kompromi. Menjadi cerita yang tak lazim bila gadis muda hilang di sarang macan kumbang dan babi liar. 

“Tak ada jalan lain. Terpaksalah bermalam di sini.” Laki-laki bertubuh tambun berbicara dengan nada frustasi kepada gadis muda. Laki-laki itu memberi solusi yang aneh.

Laki-laki bertubuh tambun itu tak melakukan apa pun kepada mobil tuanya. Gadis muda menangkap gelagat buruk dari rencana yang disampaikan laki-laki itu. Pastilah, laki-laki bertubuh tambun sedang mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Akal bulus laki-laki bila melihat perempuan muda. “Aku akan menunggu sebentar. Kalau-kalau, ada seseorang yang lewat. Aku bisa menumpang kepadanya.” Gadis muda menapik akal bulus laki-laki bertubuh tambun.

Gadis muda turun dari atas mobil tua. Ia menjinjing tas besar yang dibawanya dari perjalanan jauh. Apa yang dilakukan gadis muda sudah menjadi tanda-tanda. Laki-laki bertubuh tambun hanya bisa menatap sambil menelan air ludah. Ia membiarkan gadis muda berdiri menanti di pinggir jalan. Di dalam hati, laki-laki bertubuh tambun membayangkan gadis muda. Imajinasinya berkeliaran tak menentu. Tapi, itu seperti kunyuk merindukan bulan, berharap bintang jatuh, berharap mendapat durian runtuh.

Petang sudah di tepi malam. Satu-satunya harapan gadis muda adalah bendi. Di kampung, hanya ada seorang yang menjadi kusir bendi. Jasman, laki-laki yang sudah menjadi kusir bendi sejak berusia muda mentah. Sekarang, pastilah laki-laki itu sudah renta. Entah laki-laki itu masih menarik bendi atau sudah pensiun dari pekerjaannya. Gadis muda tetap berprasangja baik. Ia percaya dengan keajaiban yang berpihak kepadanya.

Di atas pendakian, gadis muda melihat cahaya dari sebuah lentera. Lentera itu menari-nari seperti kunang-kunang. Keberuntungan sedang berpihak kepada gadis muda. Itu lentera dari bendi. Di penurunan, seorang laki-laki turun dari atas bendi. Ia memegang pelana untuk menuntun kuda jantan melangkah di jalan menurun. Kalau tidak dituntun, kuda jantan akan membawa bendi terjerembab ke dalam jurang.

Gadis muda menjulurkan tangannya untuk memberhentikan bendi. Sang kusir mengayunkan pelacut dan menarik tali pelana. Seketika kuda jantan mengeluarkan suara meringkih sebagai tanda tak senang hatinya dihentikan secara tiba-tiba. Tapi, si kuda jantan tak bisa menolak perintah sang tuan.

“Aku ingin pergi ke kampung.” Gadis muda berbicara kepada sang kusir. Nada bicara perempuan muda seperti sebuah permohonan.

Sang kusir memandang tajam ke arah gadis muda. Pandangan yang menelisik. “Kau hendak pulang?”

Gadis muda mengangguk. “Ya. Mobil yang mengantarku terperosok. Aku tak tahu lagi mesti bagaimana.” Gadis muda memelas di hadapan sang kusir.

“Naiklah.” Sang kusir menyuruh gadis muda naik ke atas bendinya. “Kau tak perlu meminta untuk menumpang. Aku pun hendak pulang. Dan kita pulang ke arah yang sama.”

“Terima kasih, Angku Jasman.” Gadis muda menyapa dengan menyebut nama kusir bendi. Semula, ia ragu dengan laki-laki yang pernah dikenalnya itu. Jasman sama sekali tak berubah. Wajahnya tetaplah tampak muda. Tubuhnya kekar dan berotot. 

Tas besar dinaikan ke atas bendi. Jasman mencambuk kuda jantan sekali lagi. Kuda itu kembali meringkih. Seperti tak rela dipaksa untuk kembali berlari.

Roda kayu yang beralaskan karet tebal berwana hitam melaju di jalanan tanah yang mulai gelap. Cahaya lentera membuat Jasman tak kehilangan arah. Sebenarnya, sambil menutup mata saja laki-laki tua itu bisa melajukan bendi ke kampung tanpa kehilangan arah. Setiap jengkal jalan tanah sudah hapal di luar kepalanya. Demikian pun dengan si kuda jantan. Kuda jantan menghapal jalan dengan mengendus-enduskan hidungnya yang berlendir.

“Kau anak perempuan Zuraida?” Jasman mengajak gadis muda berbincang-bincang.

“Ya.” Gadis muda menjawab singkat. Ia sama sekali tak heran kalau Jasman bisa menebar dengan benar.

“Aku sahabat karib ayahmu.” Jasman memperkenalkan diri lebih lanjut. Laki-laki itu mengenang masa-masa yang telah berlalu.

Lihat selengkapnya