KETIKA Zuraida melahirkan Inun, ia lupa meminta kepada dukun beranak untuk menguburkan tali pusar di kolong rumah. Perempuan itu terlalu sibuk dengan sakit yang amat sangat yang sedang dirasakannya. Terlebih lagi, Zuraida berencana memiliki anak laki-laki, sehingga ia tak perlu risau akan ditinggal oleh anak perempuannya.
Kenyataan tak sesuai harapan. Zuraida tak pernah lagi memiliki anak. Ketakutan seorang perempuan tua akhirnya berlaku kepada Zuraida. Tidak ada kenyataan yang paling menakutkan bagi seorang perempuan selain ditinggal pergi oleh anak perempuannya. Ketika Inun menyampaikan rencananya mengadu nasib ke negeri orang, Zuraida langsung berprasangka buruk. Dadanya bergetar hebat, perasaannya tak tenang. Anak gadisnya itu takkan pernah kembali. Inun pergi dengan pakaian sehelai. Gadis itu merantau Cina. Tak tahu lagi jalan pulang.
“Angin apa yang membuatmu kembali?” Zuraida bukannya tak senang dengan kepulangan Inun. Tapi, ia sudah terlanjur menganggap anak gadisnya itu hilang. Mengharapkan yang hilang itu sungguh menyayat-nyayat hati. Menyakitkan.
Inun memainkan ujung kemeja yang dikenakannya dengan jari telunjuk. Gadis itu tak bisa memikirkan sebab-musabab. Sesungguhnya, Inun sama sekali tak mempunyai alasan. Seperti air mengalir, ia hanya mengikut kemana arus membawa. Jalan nasib itu sudah ada suratannya. “Aku ingin menikah, Bu.” Inun menjawab dengan kalimat singkat. Jawabannya begitu menohok.
Sudah terlambat bagi Inun untuk membina rumah tangga. Selepas Sekolah Menengah Pertama, Zuraida sempat menjodohkannya dengan seorang pemuda kampung. Zuraida sudah mempersiapkan semuanya. Inun tak perlu risau dengan masa depannya dalam mendayung biduk rumah tangga. Tapi, gadis itu menolak mentah-mentah perjodohannya.
Sekarang, Zuraida tidak habis pikir dengan apa yang direncanakan anak gadisnya itu. “Laki-laki mana yang telah meminangmu? Kau pulang hanya membawa badan sendiri.” Zuraida pesimis dengan keinginan Inun.
Inun tidak main-main dengan keinginannya. “Laki-laki yang dulu ibu jodohkan kepadaku.”
“Rais?” Zuraida membelalakan kedua bola matanya. Ia sungguh tak percaya dengan jawaban anak gadisnya.
Inun menundukan kepala. Ia menyembunyikan malu sebagai gadis kampung. Seperti menelan ludah sendiri. Tapi, tekadnya sudah bulat. Mengalahkan basa-basi seorang gadis kampung. “Aku akan menjemputnya, Bu.” Inun meyakinkan Zuraida.
Adat menikah di kampung, perempuan yang meminta calon suami. Perempuan mesti menjemput lelakinya dengan harta benda yang disyaratkan oleh pihak laki-laki. Zuraida paham, Inun punya uang yang cukup dari hasil jerih payahnya mengadu untung di perantuan. Walau gadis itu hanya bekerja sebagai pembantu, tapi ia punya majikan yang kaya raya. Inun punya segalanya untuk menjemput laki-laki yang disukainya. Tapi, bukan untuk menjemput Rais.
“Laki-laki itu sudah beristri dan beranak.” Zuraida mengingatkan Inun.