JALAN kampung berujung di sebuah tebing yang mengarah ke puncak bukit. Orang-orang mendaki di tebing yang landai itu untuk pergi ke ladang. Zuraida tak punya ladang. Perempuan tua itu hidup dengan mengandalkan hasil dari pekarangan rumahnya. Zuraida pergi ke ujung jalan untuk singgah ke rumah Rosna. Zuraida berkawan akrab dengan perempuan yang seumuran dengannya itu.
Ada pohon beringin besar di dekat tebing bukit. Di bawah pohon yang sudah berusia seratus tahun lebih itu ada jalan setapak. Jalan setapak yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang dedaunan dan semak belukar di sekitarnya. Zuraida tak perlu gamang melewati jalan setapak itu. Ia sudah terbiasa lewat di sana.
Jalan setapak dipenuhi rerumputan yang mulai meninggi. Sepertinya, jalan itu tak lagi terurus. Demikian pun dengan pekarangan yang ada di ujung jalan. Bunga-bunga tumbuh meranggas, dedaunan kering berserakan di mana-mana. Di seberang pekarangan, tampak sebuah rumah semipermanen. Rumah bercat abu-abu yang sudah kusam. Catnya sudah mengeras dan mengelupas.
“Rosna. Oi, Rosna!” Zuraida menyapa seorang perempuan tua yang berdiri di teras rumah. Ia sudah berpesan kepada puan rumah bahwa akan datang berkunjung untuk sebuah keperluan.
“Tak usah canggung seperti itu. Dari dulu, rumahku ini sudah kau anggap rumahmu sendiri.” Rosna membalas sapaan Zuraida. Ia menyambut sang tamu dengan tangan terbuka.
Zuraida mendekat. Sesampai di teras rumah, perempuan tua itu langsung mengambil kursi. Ia mengikuti Rosna untuk duduk di sebelahnya. Duduk di teras sambil memandang lepas ke arah pekarangan. Hal itu membuat rasa sungkan di hati Zuraida menjadi sedikit berkurang. Sebenarnya, Zuraida tak punya keberanian mengungkit kembali urusan lama yang belum selesai dengan Rosna.
“Kau masih ingat perjodohan yang dibuat suamiku dengan suamimu dahulu?“ Zuraida memulai pembicaraan dengan canggung. Perempuan itu bicara hati-hati sekali.
Rosna tak menanggapi serius pertanyaan Zuraida. “Sudah lupa aku dengan urusan itu. Kenapa kau masih mengungkitnya juga?” Rosna menjawab dengan balik bertanya.
“Walau suamiku dan suamimu sudah tiada, aku hendak menagih perjodohan itu kepadamu.” Zuraida tak main-main dengan perkataannya.
Rosna memandang Zuraida dengan raut datar. Sedikit memelas, karena tak suka dengan cara Zuraida menagih. Rosna merasa sama sekali tak terlibat dengan perjanjian di masa lalu itu. “Seperti kau, aku hanya jadi pendengar saja. Perjodohan itu sudah hapus dibawa ke alam kubur.”
Zuraida tampak bingung mendengar perkataan Rosna. Perempuan tua itu gelisah, tak tahu apa yang hendak disampaikan lagi. Sebenarnya, kedatangan Zuraida ke rumah Rosna bukan atas keinginannya sendiri. “Anak gadisku berkeinginan menjemput anak laki-lakimu. Kau tahulah, anak gadisku itu sudah terlambat menikah. Malu aku, orang-orang kampung mempergunjingkannya sebagai perawan tua.”
Rosna menghela napas dalam-dalam. “Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku juga punya anak perempuan. Dia memang sudah menikah, tapi nasibnya sama buruknya dengan anak gadismu. Sudah beranak sepasang, suaminya meninggalkannya begitu saja. Aku ini terkena karma anak laki-lakiku.” Giliran Rosna yang malah memelas di hadapan Zuraida.
“Anak laki-lakimu ada di rumah?” Zuraida masih fokus dengan maksud kedatangannya.
“Ya.” Rosna menjawab singkat.
“Aku akan menyampaikan langsung keinginan anak gadisku kepada anak laki-lakimu itu.” Zuraida berkeras hati dengan maksud kedatangannya.