SETELAH berkeluarga, tak ada tempat bagi anak laki-laki di rumah ibunya. Tampak tak adil. Tapi, begitulah cara orang-orang kampung, semenjak nenek moyang mereka melindungi kaum perempuan. Perempuan di atas segala-galanya. Laki-laki hanya sebagai pelengkap.
Rumah Rosna hanya untuk anak perempuannya, Kirai. Perempuan tua itu menyalahkan Rais atas segala-galanya yang terjadi di rumah. Rosna menyalahkan Rais atas nasib buruk yang dialami Kirai.
“Kau meninggalkan istri dan anak-anakmu?” Rosna bertanya kepada Rais ketika anak laki-lakinya itu duduk-duduk di serambi rumah. Sudah saatnya Rosna menagih pertanggungjawaban anak laki-lakinya itu.
Rais tak menjawab. Pertanyaan sederhana yang sulit untuk dijawabnya. “Bukan aku yang pergi. Tapi, istriku yang meninggalkanku.” Akhirnya, laki-laki itu bersuara juga.
Rosna tak sempat melihat istri dan anak-anak Rais. Laki-laki itu tak pernah membawa istri dan anak-anaknya ke rumah. Bahkan, ketika menikah pun, Rais tak memberi tahu. “Kau menikahi gadis Jawa?” Perempuan tua itu membuat pertanyaan yang lain.
Rais mengangguk. “Ternyata pantangan itu benar.” Laki-laki itu menyesali pilihan hidupnya.
Ada pantangan bagi laki-laki di kampung tentang memilih istri. Jangan pernah menikah dengan gadis Jawa. Laki-laki kampung dan gadis Jawa itu seperti minyak dan air. Takkan bisa akur. Kalau tak laki-laki yang pergi karena bosan, pastilah perempuan yang meninggalkan begitu saja. Gadis Jawa dicap buruk, gampang meninggalkan laki-lakinya. Tapi, Rosna tak sepenuhnya percaya dengan pantangan itu.
“Kau telah membawa akibat buruk bagi adik perempuanmu.” Rosna menyalahkan Rais karena dirinya sendiri.
Rais tidak mengerti, kenapa Rosna menyalahkan dirinya. Pastilah itu hanyalah keberpihakan buta perempuan terhadap kaumnya. Sesalah-salah pun perempuan, pasti Rosna akan selalu membela. Rais tak perlu berkecil hati atas sikap ibunya itu. Tak ada pula gunanya membela diri di hadapan Rosna.
“Bukan aku yang mencarikan jodoh untuk adikku itu.” Rupanya, Rais tidak ingin sepenuhnya disalahkan.
“Itulah kesalahanmu. Seharusnya kau yang menikahkan adik perempuanmu itu.” Rosna punya kesalahan lain untuk dituduhkan kepada Rais.
Rais seperti dihantam ombak bergulung-gulung. Banyak dosa yang ditinggalkan di rumah ibunya. Tak tahu dengan kematian ayahnya, tak memberi kabar akan kepergiannya, dan banyak lagi yang tak sanggup diingat Rais satu persatu. Ada beban masalah yang lebih berat kini menggantung di kepalanya. Laki-laki itu memilih tak menanggapi lagi perkataan Rosna. Seharusnya, dari tadi Rais diam saja seperti saat ia sampai ke rumah.
Laki-laki itu mengalihkan pandangan ke arah pekarangan. Melihat semak belukar dan pohon-pohon yang daunnya mulai meranggas. Rais memikirkan tentang pekerjaan sebagai laki-laki yang harus dilakukan di rumah ibunya. Tapi, Rais tak ingin memikirkannya terlalu dalam.
Sementara, Rosna menganggap anak laki-lakinya itu sengaja mengacuhkan dirinya. Perempuan tua itu memilih berlalu ke dalam rumah. Ia meninggalkan Rais begitu saja, seperti yang dilakukannya tadi malam. Belum waktunya bagi Rosna menumpahkan kekesalan kepada anak laki-lakinya itu.
***