SEPASANG bocah duduk menghadap piring yang terletak di atas meja kayu. Kedua bocah itu sangat berharap sekali. Waktu makan sudah terlewat beberapa menit, tapi menu belum juga tersaji di meja makan. Kirai terlambat pulang. Pekerjaan di tempat pengumpul pinang membuat perempuan itu lupa waktu. Ia bahkan tak sempat membeli bahan untuk dimasak di pasar.
Kirai muncul dengan sebuah cembung berisi nasi yang masih hangat. Nasi itu baru saja diambil dari periuk. Kirai menuangkan nasi ke atas piring di hadapan kedua anaknya. Rosna mengambil sendiri nasi di cembung menggunakan sendok besar.
“Makanlah.” Setelah nasi tersaji di piring, Kirai memberi perintah kepada kedua anaknya.
Nina menyuap makanan dengan lahap. Bocah perempuan itu begitu menikmati hidangan yang tersaji di piringnya. Hidangan yang sederhana. Hanya nasi putih dengan tumis daun singkong yang dipetik dari pekarangan rumah. Bocah perempuan itu tak terlalu memikirkan rasa makanan. Kalau perutnya sudahlah lapar, apa saja akan dilahap.
Mul sama sekali belum menyentuh makanannya. Bocah laki-laki itu tak terlalu berselera makan.
“Kenapa? Apa kamu sakit?” Rosna bertanya kepada cucu laki-lakinya.
Mul menggeleng. Tapi, raut bocah laki-laki itu masih saja cemberut. Raut paling buruk di meja makan.
“Kamu tidak suka dengan makanannya?” Kirai menimpali dengan pertanyaan sinis kepada anak laki-lakinya. Perempuan itu menatap Mul dengan raut mengancam.
Mul tak berani mengangguk. Padahal, apa yang dikatakan Kirai adalah sebenar hal yang dirasakannya. Sudah beberapa hari ini, hidangan yang tersaji itu ke itu saja. Hidangan yang dimasak dari apa yang ada di pekarangan rumah. Kirai tak terlalu beruntung dengan pekerjaannya di tempat pengumpul pinang. Perempuan itu tak bisa membeli makanan enak.
“Aku sudah kenyang.” Padahal, sepanjang hari tadi Mul hanya makan sekali. Itu pun sedikit. Mul bersiap-siap bangkit untuk beranjak dari tempatnya.
“Kalau perutmu itu keroncongan di tengah malam, tak ada makanan yang bisa kamu makan. Makanan yang tersisa akan ibu buang ke tempat sampah.” Kirai mengingatkan anak laki-lakinya.
Mul langsung ciut nyalinya. Secepat kilat, bocah laki-laki itu melahap makanan yang tersaji di piring. Ia makan dengan suapan besar. Mengunyah dengan cepat. Tampak sekali bocah laki-laki itu tak menikmati makanan yang masuk secara paksa ke dalam mulutnya.