ROSNA pulang membawa wajah keriput yang dipenuhi keringat mendidih karena terbakar terik. Tak masalah bagi perempuan tua itu. Setidaknya, ia mendapatkan sedikit uang dari menjual hasil kebunnya kepada penadah. Tak banyak yang bisa diharapkan dari kebun itu karena sekian lama dibiarkan tak terawat. Tak ada laki-laki di rumahnya yang bisa diandalkan untuk mengolah tanah.
Rosna langsung menuju ruang belakang. Mengambil cangkir di atas rak, kemudian menuangkan air putih dari cerek yang terletak di meja kayu. Meminum dua teguk air, perempuan tua itu kemudian mencari tahu pekerjaan rumah apa yang bisa dilakukannya.
Tak ada yang bisa dikerjakan Rosna. Ia tak perlu memasak. Kirai membawa kedua anaknya ke tempat pengumpul pinang. Anak perempuannya dan cucu-cucunya itu pasti sudah kenyang di sana. Rosna sendiri hanya perlu menunggu perutnya terasa keroncongan untuk kemudian memasak makanan sederhana sebagai pengusir lapar.
Perempuan tua itu memilih merintang-rintang hari. Ia hendak mengunjurkan kaki di dalam kamar. Di ruang tengah, perempuan tua itu melihat pintu terbuka. Rosna berpikir tentang anak laki-lakinya menghabiskan waktu dengan bermenung di dalam kamar yang pintunya terbuka. Benar saja. Rais duduk di kursi kayu menghadap tirai jendela yang tertutup rapat.
Rosna tak peduli dengan apa yang dikerjakan anak laki-lakinya itu. Rais sudah besar, tahu betul apa yang dipikirkan dan yang dikerjakan. Di rumah ibunya, laki-laki itu hanya perlu mengerjakan sesuatu untuk dirinya sendiri. “Adik perempuanmu tak sempat memasak. Kalau kau terus berdiam seperti itu, kau hanya membuat rasa laparmu terasa panjang.” Rosna menyapa Rais dari pintu kamar yang terbuka.
Rais tak menanggapi perkataan Rosna. Laki-laki itu sempat menoleh ke arah pintu. Tapi, Rosna tak tampak lagi di sana. Rosna kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Rais harus melakukan sesuatu untuk dirinya, seperti yang dikatakan ibunya. Laki-laki itu bangkit dari kursi kayu, melangkah keluar kamar.
Di ruang belakang, Rais memikirkan sesuatu untuk mengganjal lambungnya yang kosong. Rasa perih terasa melilit perut. Tak ada hidangan di meja kayu. Tak ada yang bisa dimakan di lemari kecil dekat dapur. Hanya beras mentah yang tak ada nikmatnya ketika dikunyah. Rais teringat dengan kebun di pekarangan belakang. Ubi kayu tumbuh liar di sana. Kalau beruntung, ia bisa mendapatkan ubi jalar yang rasanya lebih manis.
Rais menyambar parang yang tergeletak begitu saja di lantai ruang belakang. Parang itu baru saja digunakan, tapi bilahnya sudah tertutup sarang. Rais bisa menggunakan parang itu untuk memotong batang, bahkan untuk menggali tanah.
Laki-laki itu bergegas ke pekarangan belakang. Ia mencari-cari di sana. Batang ubi kayu tak tampak dari kejauhan. Semak belukar menyembunyikannya. Rais menyibak semak belukar dengan kakinya yang tak beralas. Sesekali laki-laki itu menginjak ujung ranting, tersambar duri, pedih tak dirasakannya. Mata kakinya mengeluarkan darah karena luka gores. Itu terobati oleh sebuah batang ubi kayu tinggi besar.
Rais mencari akar ubi kayu. Akar itu tersembunyi di bawah tanah mengunduk yang ditumbuhi rerumputan. Laki-laki itu mencabuti rumput liar, menyisakan tanah berwarna gelap yang akan digali dengan parang. Laki-laki itu pun menarik parang dari sarangnya dan bersiap-siap menghujamkan ke tanah.