SELEPAS Subuh, orang-orang di dalam rumah memulai aktivitas sesuai dengan peran yang dimainkan. Rais tidak punya tanggung jawab untuk pekerjaan rumah. Semuanya dikerjakan oleh Rosna dan Kirai. Tapi, laki-laki itu harus mengerjakan sesuatu.
Kirai menjarang periuk di atas tungku. Ia belum menyalakan api. Perempuan itu harus mengambil air untuk direbus. Kirai bergegas ke ruang belakang.
“Kau memasak apa?” Rais menyapa. Laki-laki itu muncul selepas mencuci muka di sumur.
“Cuma merebus air.” Kirai menjawab singkat. Perempuan itu tampak sibuk menyusun kayu kering ke dalam tungku.
Rais menjulurkan kepala ke arah periuk yang terbuka. Laki-laki itu sama sekali tak menemukan apa-apa di dalam periuk yang terbuat dari aluminium itu. “Aku tak melihat air.” Rais memasang wajah bingung.
“Barusan aku hendak mengambilnya di tepian.” Kirai membalas asal. Perempuan itu tampak kesal karena Rais terlampau menyigi apa yang sedang dikerjakannya.
Ada lubuk kecil di belakang rumah. Lubuk itu sudah berdinding batu dan semen. Disebut tepian karena lubuk itu biasa digunakan untuk mandi dan mencuci. Walau sudah ada sumur di dalam rumah, tapi Kirai masih mengambil air di lubuk itu. Air lubuk sangatlah jernih. Sementara, air sumur agak keruh. Barangkali, sumur itu berdiri di tanah yang salah.
“Biarkan aku yang mengambil air di sana.” Rais mencegah Kirai bangkit dari tungku. Laki-laki itu langsung menyambar ember besar. Ia punya pekerjaan di rumah yang sesuai dengannya. Sudah lama Rais tak mengambil air di lubuk itu. Bertahun-tahun pula tak pernah lagi melihat mata airnya yang jernih.
Masih ada sisa-sisa kelam, Rais memberanikan diri ke pekarangan belakang tanpa membawa alat penerang. Tak perlu baginya sebuah suluh atau lentera. Bulan masih bercahaya. Sisa cahaya bulan sudah cukup sebagai penerang. Rais tak perlu risau dengan langkah kakinya. Jalan menuju tepian sudah hafal di luar kepalanya.
Laki-laki itu melangkah di hamparan ilalang dan semak-belukar. Walau ia bisa melihat dengan jelas langkah kaki, tapi celaka, Rais lupa di mana letak tepian itu. Dahulu, tepian itu terletak persis di bawah pohon besar. Akar dari pohon lansano seperti penyaring mata air yang mengalir di bawahnya. Tak heran, air di tepian begitu jernih. Tapi, pohon lansano itu sudah lama tumbang.
Ada tunggul yang dipenuhi semak-belukar. Rais berjalan ke arah itu. Dugaannya tak salah, tunggul itu bekas pohon lansano. Di bawahnya ada lubuk. Pantaslah Rais tak langsung dapat melihatnya. Lubuk terhalang ilalang dan semak-belukar yang tumbuh meninggi.
Dahulu, hanya ada jalan tanah untuk sampai ke lubuk. Sekarang, sudah ada anak tangga yang terbuat dari semen. Rais harus berhati-hati menuruni anak tangga. Tangga itu dipenuhi lumut. Jadinya licin kalau diinjak. Salah-salah melangkah, bisa terpeleset di sana.