Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #8

Kuburan tak Bernisan

SEORANG remaja tanggung membawa karung goni dan sebilah sabit. Ia menuju ke semak-semak di pinggir jalan kampung. Remaja laki-laki yang bercelana pendek dan bertelanjang telapak kaki itu mencari rumput segar di antara semak-semak. Rumput untuk makan kerbau yang dipelihara di kandang beratap rumbia di pekarangan rumahnya. Setiap rumah di kampung mempunyai kandang, walau tak semuanya memelihara kerbau.

Di tepian jalan banyak rerumputan segar, tapi remaja laki-laki mencari ke tempat lain. Ia menyabit rumput yang tumbuh di bawah rumpun betung. Remaja laki-laki itu telah melanggar pantang. Ia mengambil rumput yang tumbuh di tanah kuburan.

“Aaargh!” Remaja laki-laki menjerit menahan sakit. Ketika mengayunkan sabit ke arah rerumputan, ia salah perhitungan. Remaja laki-laki menebas jarinya sendiri. Mata sabit memotong jari kelingking. Ujung jarinya nyaris putus. Remaja laki-laki ketakutan setengah mati melihat darah segar yang muncrat dari pembuluh di jari kelingkingnya.

Tak ada yang mendengar rintihan di tanah kuburan. Remaja tanggung mesti menyelamatkan dirinya sendiri. Ia mengambil keladi muda yang tumbuh di antara semak-semak. Batang keladi dikupas kulitnya. Kulit itu dibalutkan jari kelingking yang terluka. Getah di kulit keladi diyakini dapat menghentikan pendarahan. Untuk sementara, remaja tanggung bisa bertahan sampai ia mendapatkan bantuan medis dari Puskesmas pembantu yang berjarak berpuluh kilometer dari kampung.

Remaja tanggung berlalu dari semak belukar. Ia meninggalkan begitu saja karung goni yang berisi rumput. Sebilah sabit dibiarkan tergeletak di bawah rumpun betung. Rosna menemukan benda-benda itu ketika ia nyekar ke makam Teboh. Rosna melakukan hal itu setiap Kamis menjelang Jum’at. Sebuah kebiasaan untuk mengenang sang kekasih hati yang telah pergi.

Pencari rumput takkan meninggalkan karung dan sabitnya begitu saja. Rosna berprasangka tentang hal buruk yang terjadi pada si pencari rumput. Barangkali, si pencari rumput sudah mendapat hukuman atas pantang yang dilanggarnya. Walau Rosna mengenal Teboh sebagai laki-laki biasa, tapi perempuan tua itu kali ini membenarkan kepercayaan orang-orang kampung yang menganggap Teboh adalah orang sakti.

         Orang sakti disegani ketika hidupnya. Setelah mati, kuburannya dihormati. Rosna punya cara sendiri untuk menghormati Teboh.

Perempuan tua itu menaburkan bunga tujuh rupa ke atas tanah hitam di bawah rumpun betung. Rosna duduk di tepi kembang yang ditaburkan. Cukup lama ia memandang ke arah tanah yang terbentang. Perempuan tua itu pun memanjatkan doa dalam sebuah kenangan. “Anak laki-lakimu sudah pulang. Aku seharusnya senang. Tapi, tidak. Aku risau sekali. Kau tentu mengerti sebab kegundahanku. Aku khawatir, anak laki-lakimu itu akan bernasip serupa dirimu.” Rosna berbicara kepada tanah yang terhampar. Perempuan tua itu tak perlu merasa disebut orang gila. Tak ada yang mempermasalahkan seseorang berbicara kepada kerabatnya yang mati di kuburan.

Tak ada balasan atas perkataan Rosna. Tapi tiba-tiba, setangkai daun betung yang sudah kering jatuh ke tanah. Daun itu jatuh persis di tengah hamparan bunga tujuh rupa. Rosna tersenyum. Perempuan tua itu mengira, Teboh telah menjawab kerisauan hatinya.

Ingin saja Rosna berlama-lama di makam Teboh. Tapi, rintik yang jatuh dari sela-sela daun betung menapik keinginannya. Rosna harus mencari tempat untuk berteduh. Sebentar lagi, hujan turun dari atas langit. Tanda-tanda yang diberikan awan menunjukan kalau hujan kali ini sangatlah deras. Sudah tiba waktunya musim banjir di kampung. Rosna bangkit dari sebidang tanah di tepi kuburan. Perempuan tua itu memilih berlalu ke tempat lain untuk sebuah urusan.

***

CAHAYA senter menari-nari di jalan tanah yang ditutupi ranting-ranting dari semak belukar yang tak pernah dibersihkan. Sebagian orang membawa suluh yang terbuat dari batang bambu. Suluh biasa digunakan oleh pesawah yang hendak mencari air di malam buta. Tapi, kali ini orang-orang membawa alat penerang untuk mencari Teboh. Laki-laki itu harus dihakimi.

Rosna menyingkap tirai jendela. Perempuan itu memandang lepas ke pekarangan depan. Orang-orang berkerumun dengan wajah penuh amarah. “Masuklah ke dalam kamarmu. Tutup pintunya dan kunci rapat-rapat.” Rosna memberi perintah kepada Kirai yang ikut-ikutan mencuri pandang di sebelahnya.

Kirai langsung menuruti perintah Rosna. Gadis itu tampak ketakutan sekali dengan orang-orang yang mengepung rumahnya. Setelah memastikan anak perempuannya sampai di dalam kamar, Rosna memberanikan diri membuka pintu depan. Ia hendak menyambut orang-orang yang datang ke rumahnya di malam-malam buta.

“Mana Teboh?” Entah siapa yang bertanya, suara itu berasal dari kerumunan.

Lihat selengkapnya