Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #9

Jelmaan

PAGI hampir tiba, tapi cahaya malam masih menyelimuti hamparan sawah yang selesai dibajak. Leman beruntung, bulan terang di penghabisan dini hari itu. Ia tak perlu risau dengan gelap. Mengandalkan lampu minyak kecil, laki-laki itu bisa dengan mudah membuka tali bandar untuk mengalirkan air ke sawahnya. Pekerjaan rutin yang tak seharusnya menyita waktu laki-laki itu.

Leman seharusnya sudah bersiap-siap pergi ke surau. Subuh segera datang. Laki-laki itu bisa kehilangan waktu Subuh yang sangat singkat. Tapi, Leman terlalu sibuk dengan dunia. Ia tetap berada di sawah, membiarkan tubuhnya bergelut dengan lumpur.

Leman harus menutup tali bandar. Air bukan untuk dirinya sendiri. Ia mesti berbagi dengan pemilik sawah yang lain. Laki-laki itu mengais lumpur, meletakannya di tali bandar. Lumpur itu mengumpul seperti sebuah bendungan kecil. Pekerjaan yang sederhana, tapi cukup menguras tenaga. Terutama, membuat pinggang terasa sakit karena membungkuk terlalu lama.

Laki-laki itu bangkit sambil memegangi pinggangnya. Leman tak bisa berdiri dengan sempurna. Matanya terasa berkunang-kunang. Laki-laki tua tak bisa menolak takdir tentang umurnya yang tak lagi muda. Tubuhnya sudah dimakan usia. Rapuh dan sakit-sakitan.

Setelah pijakannya terasa kuat, Leman mencoba keluar dari lumpur. Ia hendak naik ke atas pematang. Laki-laki itu harus bangkit secara pelahan-lahan. Ia tak bisa melihat jelas di pematang sawah. Salah-salah menginjakan kaki, bisa-bisa ia terjerembab ke lumpur. Walau tak dilihat orang, tersungkur di lumpur itu menjadi sesuatu yang sangat memalukan bagi Leman. Berpuluh tahun menjadi petani, belum pernah ia mengalami kejadian seperti itu.

Leman berhasil berdiri sempurna di atas pematang sawah. Tapi, laki-laki itu salah saat melangkah. Kakinya menginjak tepi pematang yang licin. Sebelah kaki laki-laki berumur itu terjerembab ke dalam sawah. Leman bergegas berdiri tegak di atas pematang. Melihat sekelilingnya, memastikan tak ada seorang pun yang tak sengaja memperhatikan dirinya. Leman menghela napas dalam-dalam. Di sekelilingnya hanya tampak kelam. Lengang.

Laki-laki tua itu lupa melihat ke arah depan. Di pematang sawah, ada sebuah bayangan mendekat kepadanya. Leman tak bisa melihat secara persis. Bayangan itu berjarak sepetak sawah darinya. Leman menunggu sampai bayangan itu berada di hadapannya, sehingga ia bisa melihat sebuah wajah dari pantulan cahaya rembulan.

Bayangan itu berada beberapa kaki di hadapan Leman. Tapi, laki-laki tua itu sudah bisa melihat sosok di balik bayangan tersebut. “Teboh!” Leman berguman dalam hati.

Laki-laki tua itu terperanjat. Seberani apa pun Leman, tetap saja ia tak sanggup melihat sesosok yang bangkit dari kematian. Leman hanya bisa berdiri mematung. Kakinya kehilangan kuasa untuk berlari. Menghindar pun tak ada guna. Kalau Teboh hendak menyakitinya, maka celakahlah Leman. Laki-laki tua itu hanya bisa berpasrah dengan pembalasan.

Beberapa langkah di hadapan Leman, Teboh berhenti. Tubuh laki-laki yang bangkit dari kematian itu seketika lenyap bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam jantan. Leman hanya bisa terpana. Laki-laki tua itu mencoba mengelus dada. Masih dirasakan detak jantungnya yang begitu kencang. Leman merasa beruntung sekali. Kejadian di pematang sawah itu kemudian diceritakannya kepada orang-orang yang duduk di lapau.

“Yang kau lihat itu belum seberapa.” Dulah menyela Leman yang sedang bersemangat bercerita.

“Memangnya kau melihat juga?” Leman menantang. Laki-laki tua itu tak suka diremehkan.

Dulah menjawab tantangan. Laki-laki itu mengangguk. “Bahkan, aku menyaksikan yang lebih buruk.”

“Oya?” Leman melihat terpana ke arah Dulah. Masih belum sepenuhnya percaya. “Ceritakanlah.” Laki-laki itu penasaran dalam ketakutan.

Dulah terdiam sebentar. Laki-laki itu memperbaiki posisi duduknya. Menyandarkan pundaknya ke sandaran kursi, Dulah menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. “Aku melihat laki-laki itu di lubuk di pekarangan belakang rumahnya. Ia membasahi seluruh tubuhnya dengan air lubuk yang dipenuhi darah. Aku tak heran. Di tempat itu ia selalu melakukan ritual.” Dulah kembali terdiam. Laki-laki itu mengucapkan kalimat pendek untuk mengakhiri ceritanya. “Yang tak bisa kumengerti, aku melihat Teboh pada diri anak laki-lakinya.” Laki-laki itu kemudian memasang raut kebingungan.

Leman berpikir keras untuk memahami perkataan Dulah. “Bulu kudukku langsung berdiri.” Leman tak bisa memahami. Laki-laki tua itu terlanjur dicekam rasa takut. Otaknya tak bisa lagi berpikir dengan jernih.

 

Lihat selengkapnya