Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #11

Rumah Besan

SEUMUR hidup, hanya sekali Rosna berkunjung ke rumah Marini. Ketika pernikahan anak perempuannya. Karena keterbatasan biaya, Rosna berencana menggelar pesta sebelah saja untuk Kirai. Pesta pernikahan yang ideal itu ada di rumah pengantin perempuan. Tapi, Marini bersikeras membuat pesta sendiri untuk anak laki-lakinya. Perempuan itu tak kuat menanggung malu di hadapan saudara laki-lakinya.

Setelah menghadiri pesta besar itu, Rosna tak berani lagi datang ke rumah Marini. Merasa kecil hatinya. Marini memang tak setara dengan keluarganya. Perempuan kaya raya di kampung, memiliki tanah pusaka yang luas. Tapi kali ini, Rosna mengabaikan rasa kediriannya yang terbenam di titik nadir.

“Besan yang datang rupanya.” Marini menyapa Rosna di beranda rumahnya. Perempuan tua itu tak bisa lagi melihat dengan jelas. Penglihatannya kabur semenjak ia menderita penyakit gula. Marini juga tak bisa bangkit dari tempat duduk. Perempuan itu mesti dipapah ketika hendak berdiri. Tapi, penciumannya masih tajam. Ia tahu kedatangan Rosna dengan mencium bau minyak kemiri yang dipakai perempuan itu.

Rosna terkejut melihat keadaan Marini. Ia sama sekali tak pernah mendapatkan kabar dari Kampai tentang keadaan besannya itu. Rosna sendiri memang tak pernah bertanya. Rosna tak mau ikut campur dengan urusan berlaki-bini anak perempuannya. “Baik-baik saja keadaanmu, Mar?” Rosna bertanya keadaan Marini. Perempuan itu tidak sedang berbasa-basi, tapi memang menunjukan keprihatinan.

Marini tak mengeluh dengan keadaan. Perempuan itu menjawab pertanyaan Rosna dengan senyuman. “Yah, beginilah. Namanya badan sudah banyak dipakai.”

Melihat Marini tampak baik-baik saja, Rosna kemudian memberanikan diri menyampaikan maksud kedatangannya. “Anak laki-lakimu ada di rumah?” Rosna tetap menggunakan kata-kata bersayap.

“Aku tidak pernah tahu kalau anak itu berada di rumah. Aku kira, ia ada di rumahmu.” Marini menjawab apa-adanya.

Rosna mesti hati-hati dalam berbicara. Ia harus memilih kata-kata yang tepat. Marini sama sekali tak tahu apa yang terjadi antara Kampai dan Kirai. Kalau sampai perempuan tua itu mendengar kabar buruk tentang anak laki-lakinya, bisa-bisa semua penyakit yang diderita Marini akan kambuh. Rosna akan merasa sangat berdosa sekali kepada perempuan itu. “Cucu-cucuku ada di sini?” Rosna mencoba mengalihkan pertanyaannya.

“Bocah-bocah itu bermain di pekarangan belakang. Aku tak bisa mengawasinya.” Marini kembali menjawab apa adanya.

“Sudah beberapa hari ini mereka pergi dari rumah. Tiba pula rasa rinduku.” Rosna menyebutkan alasan di balik pertanyaannya. Perempuan itu tak ingin Marini merasa curiga.

Marini tertawa kecil. Ia paham betul apa yang dirasakan Rosna. “Sayang sekali aku tak punya anak perempuan. Kalau punya cucu perempuan, pastilah rinduku lebih dari yang kau rasakan.” Marini membesarkan hati Rosna dengan mengecilkan perasaannya. Tahu betul perempuan itu dengan menenggang rasa.

Marini sudah mengerti maksud kedatangan Rosna. Perempuan itu tak perlu menjelaskan hal lain. “Aku akan mencari bocah-bocah itu di pekarangan belakang.” Rosna bergegas hendak ke pekarangan belakang rumah Marini.

“Tak perlu.” Marini mencegah. “Hei, Mul, oi Nina!” Marini berteriak. “Kau cukup memanggilnya saja.”

Benar saja. Tak lama kemudian, sepasang bocah muncul di beranda rumah. Kedua bocah itu tampak berkeringat. Tentulah keduanya sudah puas bermain-main di pekarangan belakang.

“Ibu kalian menyuruh pulang.” Rosna berbicara kepada Mul dan Nina.

Mul dan Nina tak bereaksi. Kedua bocah itu tampak sungkan kepada Marini. “Pergilah. Nenek kalian itu tak kuat lagi menahan rindu.” Marini berbicara kepada Mul dan Nina.

Mul dan Nina menuruti perkataan Marini. Kedua bocah itu mengikuti langkah Rosna. Rosna pulang dengan rasa lega. Sandiwara kecil yang dibuatnya berhasil. Perempuan itu berhasil membawa pulang Mul dan Nina tanpa adanya pandangan curiga dari Marini.

***

Lihat selengkapnya