PETANG sudah meninggi, Rosna masih saja bermenung di ruang tengah. Perempuan tua itu sedang berpikir keras. Tidak tahu apa yang hendak dimasak untuk dijadikan makan malam. Rosna tak bisa membeli sendiri bahan-bahan untuk memasak. Ia bergantung kepada anak perempuannya.
Rosna melangkah ke ruang belakang. Perempuan tua itu berencana memasak air. Barangkali, sambil menunggu air mendidih, sebuah ide akan muncul di kepalanya. Rosna bisa membuat masakan dari bahan-bahan yang ada di pekarangan rumahnya.
Di pekarangan belakang, Rosna melepaskan pandangan ke sekelilingnya. Mata perempuan tua itu terbelalak melihat pohon lansano. Di bawah pohon rindang itu banyak tumbuh keladi. Selain bisa dimakan umbinya, daun keladi yang masih muda bisa pula diolah jadi makanan. Bisa dibuat gulai pucuk keladi. Rosna punya rencana yang lebih sederhana. Perempuan tua itu akan membuat tumis pucuk keladi.
Rosna melangkah di pekarangan. Perempuan tua itu sama sekali tak membawa apa-apa. Gampang mengambil pucuk keladi. Tinggal dipatahkan saja dengan jari.
Di antara semak belukar, keladi tumbuh begitu saja. Beberapa hari ini turun hujan. Keladi tumbuh dengan subur. Daunnya tampak berkecambah. Rosna memetik beberapa pucuk. Pucuk yang masih muda. Manis rasanya bila ditumis.
Perempuan tua itu mengumpulkan pucuk keladi di genggaman tangan sebelah kiri. Sementara, tangan kanannya terus mencari-cari di antara semak belukar. Rosna membutuhkan beberapa helai lagi daun keladi. Segenggam besar, barulah cukup untuk membuat sekuali kecil tumis pucuk keladi.
Perempuan tua itu terlalu serius memetik pucuk keladi. Rosna tak menyadari, sebuah sosok di bawah pohon lansano sedang memperhatikan dirinya. Oh, tidak. Sosok itu tidak sedang melihat Rosna. Sesosok itu duduk membelakangi. Sebuah batu berukuran besar menjadi tempat duduknya.
Setelah mengumpulkan segenggam besar pucuk keladi, Rosna pun bangkit untuk berdiri. Perempuan tua itu merasakan pinggangnya sakit karena terlalu lama menunduk. Rosna tak langsung berdiri tegak. Ia membungkukan kembali tubuhnya agar bisa diangkat berdiri.
Ketika nyeri di pinggangnya hilang, Rosna pun berdiri tegak. Perempuan tua itu tiba-tiba terkejut. Sesosok di atas batu besar yang mengejutkannya.
“Apa yang kau lakukan di sana?” Rosna menyapa sosok yang duduk di batu besar. Walaupun hanya melihat pundak, Rosna dengan mudah bisa mengenali sosok itu.
Sosok itu sama sekali tak menjawab pertanyaan Rosna. Ia hanya diam seribu bahasa. Sosok itu tetap saja duduk membelakangi perempuan tua yang telah menyapanya.
Rosna menahan gerutu di dalam dada. Percuma saja ia menumpahkan kesal kepada sosok itu. Rosna sudah tahu bagaimana tabiatnya. Kampai memang menantu yang suka membuat kesal. Rosna tak berdaya lagi dengan menantunya itu.
Rosna membuang pandang. Perempuan tua itu berbalik badan. Ia melangkah menuju belakang rumahnya. Kampai dibiarkan saja duduk bermenung di batu besar di bawah pohon lansano. Rosna tak berniat untuk mengusik kesenangan menantunya itu.