SEPANJANG hari, Kirai bekerja keras di tempat pengumpul pinang. Pulang ke rumah, perempuan itu merasakan letih yang begitu hebat. Kirai tak sempat membersihkan tubuh. Kasur dan selimut lebih dahulu menyergap dirinya. Sebentar merebahkan badan, perempuan itu langsung tertidur pulas.
Tidur yang sangat menyenangkan. Tapi Kirai terlupa, tidur itu mengundang mimpi buruk. Perempuan itu terbangun tiba-tiba di tengah malam. Tersentak, Kirai mendapati sekujur tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Setelah itu, matanya tak mau lagi diajak untuk terpejam.
Apa yang hendak dilakukan perempuan itu di tengah malam? Tidak ada. Kirai keluar kamar untuk mencari udara segar. Ia duduk-duduk di ruang tengah dengan lampu yang dimatikan. Suasana gelap membuatnya tak betah. Kirai beralih ke ruang depan. Lampu di ruang depan juga dimatikan. Hal itu untuk menghemat accu. Lampu di rumah itu dihidupkan dengan accu. Kalau daya di alat pembangkit itu habis, Kirai mesti berjalan jauh ke pusat kabupaten untuk mengecas. Dan itu takkan selesai sehari atau dua hari.
Kirai masih melihat cahaya. Cahaya itu berasal dari sinar rembulan yang masuk di sela-sela tirai jendela yang tersingkap. Tampak jelas sekali ruang depan itu. Jelas tak ada sebuah pun barang berharga di ruangan itu. Hanya jam dinding yang tak lagi berfungsi.
Jam dinding itu seumuran dengan Kirai. Bahkan, lebih tua beberapa bulan. Rosna membiarkannya tetap terpajang di dinding ruang depan sebagai hiasan. Tapi sebenarnya, perempuan tua itu hendak mengenang dengan memandangi jam itu sesekali ia merasa rindu. Rindu kepada Teboh. Bagi Kirai, jam itu hanyalah sebuah alat penunjuk masa lalu yang buruk. Kenangan hitam yang harus dilupakan dan dikubur dalam-dalam.
Tik, tok, tik, tok! Tiba-tiba, jarum di jam itu berdetak. Kirai memandang heran. Sesuatu yang menakutkan atau sebuah keberuntungan? Kirai mengira, jam itu telah berhasil memulihkan dirinya sendiri. Sebuah keajaiban!
Tok, tok, tok! Rupanya, bukan bunyi detak jarum jam. Seseorang mengetuk pintu depan. Kirai sama sekali tak merasa aneh. Beberapa orang di rumah itu memang suka pulang tengah malam. Dahulu, Teboh. Sekarang, kalau bukan Rais, pastilah Kampai. Dugaan Kirai yang terakhir benar.
“Kirai, Kirai, Kirai.” Ada suara memanggil dari balik pintu.
Kirai bangkit dari kursi kayu. Ia melangkah ke arah jendela. Menyingkap tirai jendela. Dari celah yang tersingkap, ia melihat Kampai berdiri menghadap ke pintu. Wajah laki-laki itu tampak pucat ketika diterpa cahaya rembulan. Kirai bergegas membukakan pintu. Ia merasa bersalah karena membuat Kampai menunggu terlalu lama. Hawa malam telah membuat laki-laki itu menahan dingin yang menusuk pori-pori kulit.
“Aku kira abang tidak pulang.” Kirai menyapa Kampai. Perempuan itu sama sekali tak mempermasalahan kemarahan Kampai yang kemarin. Biasa bila laki-laki menumpahkan amarahnya kepada perempuan.