Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #14

Orang Pintar

SUDAH hampir sebulan laki-laki itu berada di rumah. Rosna tidak tahu apa yang sedang dikerjakan Rais. Sepanjang hari anak laki-lakinya itu seperti tak melakukan apa pun. Setidaknya, melakukan sesuatu yang berfaedah untuk dirinya sendiri. Perilaku buruk yang berulang setiap hari, sehingga membuat Rosna hilang kesabaran.

“Sudah kelimpanan mataku melihatmu.” Rosna menumpahkan rasa kesalnya kepada Rais yang sedang duduk bermenung ruang tengah.

“Apakah aku ini seperti tungau di mata Ibu?” Rais tak senang ketika Rosna mengusik lamunannya.

Sikap Rosna terlalu berlebihan kepada anak laki-lakinya. Seharusnya ia tak banyak berharap, apalagi menuntut kepada anaknya itu. Haknya sebagai seorang ibu sudah selesai ketika Rais menjadi dewasa dan meminang seorang gadis untuk dijadikan pendamping hidupnya. Rais yang sekarang hanyalah beban sebagai manusia bagi Rosna.

“Aku takkan bertanya tentang masalah hidup yang sedang kau hadapi. Kau tak bertanggung jawab untuk menceritakannya. Tapi, setidaknya kau menghibur perempuan tua ini sebuah hal baik yang bisa kau lakukan. Kerjakanlah sesuatu.” Rosna mencoba memberi pengertian kepada anak laki-lakinya. Harapan seorang ibu yang tak muluk-muluk.

Sepanjang hari, Rais hanya duduk bermenung. Sungguh, hal itu sama sekali tak memberi kebaikan, bahkan untuk seekor anai-anai yang akan langsung menyuruk di sela-sela kayu lapuk ketika daun jendela dibuka di waktu pagi. Anai-anai takkan terusik dengan laki-laki yang bermenung. Rais melihat dirinya yang teramat buruk bila dibandingkan dengan serangga itu.

Laki-laki itu tersadar. Rais bergegas bangkit dari kursi kayu. Sambil berdiri, ia memandang lurus ke arah jendela yang terbuka. Rais hendak melakukan sesuatu di pekarangan rumah. Entah apa itu, ia sama sekali belum mempunyai rencana. Rais melangkah meninggalkan Rosna tanpa mengucap sepatah kata pun.

Rosna hanya bisa terheran-heran melihat laku anak laki-lakinya itu. Perempuan tua itu menatap bengong. Ia sama sekali tak berencana mengikuti langkah anak laki-lakinya itu. Rais bukan lagi seorang bocah yang harus diawasi sepanjang hari.

Rais melangkah ke ruang belakang. Muncul di pekarangan, laki-laki itu menjinjing sebuah parang di tangannya. Entah apa yang akan dikerjakannya dengan parang itu. Mata parang diayunkan ke tanah pekarangan yang ditumbuhi semak belukar dan rerumputan liar. Rupanya, Rais memangkas tanaman yang tak berguna di pekarangan rumah. Tanaman itu hanya menyemak pandangan mata saja.

Laki-laki itu bekerja keras sekali. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Kulit wajahnya berubah cokelat kemerahan karena tersengat terik matahari. Rais belum berhenti, laki-laki itu terus mengayunkan parang di atas tanah pekarangan. Laki-laki itu seperti tak pernah kehilangan tenaga.

Potongan semak belukar dan rerumputan membentuk gundukan besar di pekarangan. Rais menyulut api di tumpukan sampah basah itu. Asap putih mengepul di udara. Rais menyelesaikan pekerjaannya membersihkan pekarangan rumah. Rais menghela napas panjang. Membiarkan asap dari pembakaran rerumputan basah masuk ke dalam rongga tenggorokannya. Laki-laki itu sama sekali tak merasa tersendak.

Rais kembali ke dalam rumah. Perutnya yang keroncongan meminta untuk diisi. Laki-aki itu tak perlu risau dengan makanan. Di pekarangan rumah, ia mendapatkan banyak umbi-umbian. Ada singkong, ada ubi talas. Pucuk daun singkong bisa pula dijadikan sayur. Rais mendapatkan sekarung besar ubi dan sayur dari pekarangan rumahnya. Laki-laki itu telah mengerjakan sesuatu yang memberikan hasil.

Ubi dan sayur itu terlalu banyak untuk dihabiskan seorang diri. Bahkan, untuk orang-orang yang ada di rumah, masih banyak yang akan bersisa dan menjadi sia-sia. Rosna punya rencana dengan ubi dan sayur yang didapatkan Rais dari pekarangan rumah itu. “Kenapa kau tak menawarkannya kepada tetangga atau menjualnya di pasar.” Rosna menyampaikan saran kepada Rais.

Tiba-tiba, Rais teringat dengan pekerjaan yang biasa dilakoninya di rantau. Berdagang dari satu lapak ke lapak lain, dari satu pasar ke pasar lain, dari satu emperan ke emperan lain. Tumben, laki-laki itu bisa menangkap saran dari Rosna. Laki-laki itu setuju dengan saran ibunya.

Rais memikul karung besar berisi ubi dan sayuran. Karung itu dibawa menyusuri jalanan kampung. Tujuan Rais adalah pasar. Tak ada pasar di kampung itu. Hanya ada lapak-lapak kayu yang berjejer di pinggir jalan di dekat tanah lapang di tengah kampung. Orang-orang kampung menyebut lapak-lapak kayu itu sebagai pasar.

Lihat selengkapnya