NOREL berjalan tergesa-gesa di antara semak belukar di pekarangan belakang rumah Rosna. Pemuda itu memberanikan diri lewat di sana. Sebenarnya, karena tak ada pilihan saja. Untuk sampai ke pinggir hutan di kaki bukit, jalan pintas satu-satunya adalah pekarangan rumah Rosna.
Peristiwa tragis di masa lalu membuat rumah Rosna menjadi tempat yang ditakutkan. Walau tak tahu persis kejadian masa lalu itu, Norel bergidik juga lewat di sana. Anak muda tanggung memasang langkah seribu. Berlari kencang sampai ia merasa sudah cukup jauh meninggalkan pekarangan rumah Rosna. Ketika petang sudah berganti malam, pemuda tanggung itu pun sampai ke pinggiran hutan.
Di pinggir hutan, banyak orang bertanam durian. Tapi, tak jelas siapa pemiliknya. Ketika durian ditanam, orang-orang meninggalkannya begitu saja. Lebih lagi, durian itu ditanam berpuluh tahun yang lalu. Sudah berganti generasi demi generasi. Generasi yang lalu sudah terputus pula. Norel bisa mengambil buah durian seenak hatinya. Asalkan, pemuda tanggung itu mau menunggui buah durian jatuh.
Pemuda tanggung itu mesti menunggu sampai pagi. Kalau beruntung, di tengah malam atau menjelang dini hari, buah durian yang sudah ranun akan berjatuhan. Norel menunggu di pondok kecil yang dibuatnya dari ranting kayu. Pondok beratapkan daun, beralaskan tanah, dindingnya dibiarkan terbuka. Dengan begitu, Norel langsung tahu arah yang akan dituju ketika buah durian jatuh.
Brum! Terdengar dentuman di tanah. Norel masih menunggu. Satu buah belumlah cukup. Ia mesti menunggu beberapa saat lagi. Menunggu dentuman bertubi-tubi.
Brum, brum, brum! Seperti durian runtuh. Waktunya sudah tiba. Norel bangkit. Pemuda tanggung itu menjulurkan kepala keluar pondok. Diperhatikan sekelilingnya. Gelap. Tapi, ia bisa melihat arah dengan jelas lewat tanda yang ditinggalkan suara dentuman.
Norel melangkah menuruni sebuah tebing yang tak terlalu curam. Di bawah tebing itu terdapat semak belukar. Buah durian jatuh ke arah semak belukar itu. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk menuruni tebing. Tapi, Norel sudah terbiasa.
Pemuda tanggung itu sudah sampai di bawah tebing. Kedua tanggannya menyingkap semak belukar. Matanya awas mencari buah durian yang terpelanting ke segala arah. Ada sebuah tergeletak di atas semak yang merunduk. Norel mendekat untuk meraih, tapi langkahnya langsung surut. Sebuah auman seketika membuat nyalinya ciut.
Semak belukar tersingkap oleh langkah kaki. Langkah yang tak biasa. Begitu ringan, seperti menari-nari di udara. Tak ada orang lain di tempat itu. Norel sudah bisa menduga, itu langkah inyiak belang.
Di dalam gelap, Norel sama sekali tak melihat sosok harimau besar itu. Tentu saja pemuda tanggung itu tak bisa melihat. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat inyiak belang.
Mendengarkan langkah kakinya saja sudah membuat Norel mati ketakutan. Pemuda tanggung itu melangkah menjauh sambil mengendap-endap. Ia tak kembali ke pondok. Pemuda itu mencari pohon yang agak rendah. Pohon itu dipanjat dengan sekuat tenaga. Di atas pohon itu, Norel mesti bergelantungan hingga pagi menjelang.
“Harimau itu sebesar anak kerbau.” Norel menceritakan pengalamannya kepada Leman yang selesai mengairi sawahnya. Tak sengaja, Norel berjumpa dengan laki-laki itu di pematang sawah ketika pemuda tanggung keluar dari hutan.
“Dasar kau gedang serawa.” Leman menertawai Norel.
Norel membela diri. “Bukan tak berani. Tapi, tak mau mati konyol aku.”