SEORANG laki-laki tua datang secara diam-diam. Sesampai di pekarangan rumah Rosna, laki-laki itu menoleh ke belakang, ke kiri, dan ke kanan. Ia sangat awas memperhatikan keadaan di sekitarnya. Rosna yang sedang menyapu di pekarangan rumahnya memandang curiga kepada laki-laki tua tersebut.
“Kau?” Rosna langsung mencegat dengan sebuah pertanyaan. Ia masih hafal dengan wajah laki-laki tua itu. Keriput di wajahnya makin banyak, tapi Rosna takkan bisa lupa dengan amarah yang pernah ada pada laki-laki tua itu. “Kau seperti pencuri. Tak ada lagi yang bisa kau ambil di rumah ini. Yang pernah kau ambil kini jadi tulang-belulang di dalam tanah.” Rosna menumpahkan sakit hatinya.
Laki-laki tua itu sama sekali tak menyimak perkataan Rosna. Ia terlalu sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. “Aku mencari anak laki-lakimu. Dia ada di rumah?” Laki-laki tua malah menanyakan hal lain.
“Untuk apa kau mencarinya?” Rosna menelisik dengan tatapan curiga.
“Aku tak bermaksud menyelakainya. Aku ingin meminta tolong.” Laki-laki tua memberikan raut wajah memohon.
“Anakku itu takkan bisa menolongmu. Dia bahkan tak bisa menolong dirinya sendiri.” Kata-kata Rosna masih bedas. Perempuan itu menapik permohonan laki-laki tua.
Laki-laki tua mendekat kepada Rosna. Ia berbicara seperti hendak membisikan sesuatu kepada perempuan itu. “Ini tak ada hubungannya dengan masa lalu. Ini soal masa depan. Pertolongan dari anak laki-lakimu takkan percuma. Aku akan memberi imbalan yang setimpal.” Laki-laki tua melancarkan jurus bujuk-rayu.
Rosna tidak bisa menduga apa kepentingan laki-laki tua itu dengan anak laki-lakinya. Yang pasti, Rosna kenal betul dengan Leman. Urusan laki-laki itu tak lebih dari soal sawah. Hidup matinya tergantung pada berpetak sawah yang dimilikinya. “Kau masuk saja ke dalam. Dia ada di kamar belakang.” Rosna melunak. Perempuan tua itu memberikan jalan kepada Leman untuk masuk ke dalam rumah.
Leman tak melangkah ke teras. Ia berjalan ke pekarangan samping. Laki-laki tua itu melewatkan pintu depan. Masuk dari pintu depan menjadi sesuatu yang janggal bagi laki-laki tua itu. Orang yang tak sengaja lewat akan mengetahui kedatangannya ke rumah Rosna. Itu tak baik bagi Leman. Laki-laki tua itu pun memilih masuk melalui pintu belakang.
Rais sedang duduk bermenung di dekat jendela. Ia tak menyadari kedatangan Leman. Setelah laki-laki tua itu mendehem beberapa kali, barulah Rais terdasar. Seorang lagi, pasien datang kepadanya.
Laki-laki itu bangkit dari kursi kayu, kemudian mendekati Leman yang lebih dahulu duduk di tikar pandan. “Sakit apa yang kau rasakan?” Rais bertanya kepada laki-laki tua.
Leman tampak kebingungan mendengar pertanyaan Rais. “Kedatanganku ke sini bukan untuk berobat.” Leman menapik pertanyaan Rais.
“Lalu?” Rais menggerakan kedua alisnya. Ia memandang menelisik ke arah leman.
“Aku ingin meminta tolong.” Leman tampak sungkan untuk mengatakan maksudnya.