SEORANG laki-laki berumur datang kepada Rais. Entah dari mana ia berasal. Rosna yang melihat laki-laki berumur itu di rumahnya sama sekali tak mengenalinya. Siapa saja orang-orang yang ada di kampung pasti dikenali oleh perempuan tua itu. Pastilah, laki-laki berumur berasal dari suatu tempat yang lain.
“Aku berasal dari kota. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini untuk memohon pertolongan darimu.” Laki-laki berumur mengiba di hadapan Rais.
Rais melihat laki-laki itu seperti orang asing. “Siapa namamu?” Rais bertanya. Cara laki-laki itu bertanya menunjukan kehebatannya dari laki-laki berumur. Rais tak perlu berbasa-basi dengan kesopanan dan kesantunan.
“Aku, Ramli.” Laki-laki berumur memperkenalkan diri.
“Apa keperluanmu?” Rais terus bertanya.
Ramli menggigit lidahnya. Laki-laki berumur itu sungkan menyampaikan maksud yang sebenarnya. Beberapa saat, Ramli terdiam. Raut mukanya tampak bingung.
Seharusnya Rais tak bertanya. Laki-laki itu sudah paham apa yang ada dalam kepala Ramli. Dari cara laki-laki berumur itu datang, memandam amarah di dalam dadanya, Ramli hendak membalaskan dendam. Dendam kepada siapa?
“Fatimah.” Ramli berujar singkat. Laki-laki itu menyebut sebuah nama.
“Siapa perempuan itu?” Rais tak berhenti bertanya. Ia terus menelisik.
“Dia orang kampung ini.” Ramli menjawab tanya.
“Aku tahu.” Rais mengangguk-angguk. “Perempuan yang berumah di tengah pasar.” Laki-laki muda itu menebak dengan benar.
Fatimah itu perempuan baik-baik. Bahkan, ia perempuan berpunya yang dermawan. Walau bukan orang yang paling kaya di kampung, tapi Fatimah lebih banyak memberi bantuan. Karena kemurahan hatinya, anak-anak Fatimah semuanya menjadi orang. Tak mungkin rasanya ada seseorang yang menaruh dendam kesumat kepadanya.
“Dia menolak pinanganku. Sampai detik ini, aku tak terima dia menjadi dengan orang lain.” Ramli berbicara dengan suara bergetar. Laki-laki berumur itu menyimpan amarah di setiap kata yang terucap di mulutnya.
Rais geleng-geleng kepala. Perkara sederhana. Dendam cinta, apalah artinya. Cinta bisa hilang dan memudar seiring berjalannya waktu. Toh, Fatimah sudah hidup berbahagia dengan orang lain. Demikianpun dengan Ramli. “Apakah kau punya anak dan istri?”
Ramli menggeleng. “Aku memutuskan hidup sendiri.” Suara laki-laki itu terdengar mengiba.
Rais menghela napas panjang. Laki-laki yang malang. Memang pantas dikasihani. “Apa yang kau inginkan kepadanya?”