ADA pemandangan langka di tengah kampung. Sebuah mobil sedan hilir-mudik di jalanan tanah. Mobil itu pasti sangat menderita sekali ketika melewati jalan yang buruk, berlubang, berlumpur, mendaki, dan menurun. Jalan kampung itu hanya untuk cigak baruak atau truk pengangkut pinang yang datang sekali sepekan.
Mobil sedan berhenti di tengah pasar. Seorang laki-laki dengan pakaian safari membuka pintu bagian depan mobil dan menyapa pedagang yang sedang menunggui lapaknya. Laki-laki itu menanyakan alamat seseorang.
Setiap orang tahu dengan alamat rumah Rosna. Tapi, tak ada yang mau memberitahukannya kepada laki-laki bersafari. Mobil sedan dibawa berputar-putar. Menjejaki setiap ruas jalan kampung, hingga mobil itu terjebak di jalan buntu. Di depannya ada tanjakan terjal menuju jalan berbatu yang ditutupi rimbun pepohonan dan semak belukar. Mobil sedan takkan kuat mendaki di sana.
Laki-laki bersafari memutar balik mobil sedan yang dikendarainya. Tak sengaja, laki-laki itu melihat jalan setapak menuju sebuah rumah terpencil di tengah pekarangan yang luas. Laki-laki berbaju safari turun dari mobil. Laki-laki itu mengikuti instingnya. Ia berjalan di jalan setapak, melewati pekarangan yang luas. Sesampai di teras rumah, ia mengetuk pintu. Laki-laki bersafari itu hendak bertanya untuk yang terakhir kalinya.
Rosna membuka pintu. Perempuan tua itu memandang heran kepada laki-laki asing yang berdiri di hadapannya. “Kau siapa dan hendak mencari siapa?” Rosna menyambut laki-laki asing dengan bertubi pertanyaan.
“Aku sudah bertanya kepada setiap orang di kampung ini. Tak ada yang mau memberi tahu. Ini yang terakhir.” Laki-laki berbaju safari menumpahkan rasa kesalnya di hadapan Rosna. Ia seperti mengadu kepada perempuan itu.
“Apa yang ingin aku tanyakan?” Rosna prihatin dengan keadaan laki-laki bersafari.
“Di mana rumah laki-laki muda yang menjadi dukun sakti di kampung ini?” Laki-laki bersafari menyampaikan maksudnya.
“Di rumah ini hanya ada anak dan cucu laki-lakiku. Kau bertanya di tempat yang salah.” Rosna menapik pertanyaan laki-laki bersafari.
“Maksudku, orang pintar. Ada yang hendak meminta pertolongannya.” Laki-laki bersafari belum menyerah.
“Cucu laki-lakiku belum sekolah. Anak laki-lakiku, dia putus sekolah. Tak mungkin keduanya.” Rosna terus menyanggah.
“Ini rumah terakhir yang aku datangi. Harapan satu-satunya. Jauh-jauh aku dari pusat kabupaten, tak mungkin aku kembali dengan tangan hampa. Bisa habis aku nanti. Aku ini hanyalah orang suruhan.” Laki-laki berbaju safari memelas panjang di hadapan Rosna. Laki-laki memasang raut yang membuat hati yang melihatnya serasa teriris-iris.
Perempuan tua itu terenyuh juga. “Kau mencari anak laki-lakiku. Tunggulah di sini. Aku akan memanggilnya di belakang.” Rosna berbalik badan, berjalan tergesa menuju ke ruang belakang. Ia hendak memberi tahu kepada Rais perihal seseorang yang mencari dirinya.
Laki-laki berbaju safari melepas kepergian Rosna dengan memasang wajah sumringah. Tadi, ia sudah patah arang. Sekarang, asa itu kembali ada. Tak lama kemudian, seorang laki-laki muda datang kepada dirinya.
“Ada apa kau mencariku?” Rais langsung memberondong laki-laki berbaju safari dengan pertanyaan.
“Aku, Sukarsa.” Laki-laki berbaju safari menjulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
Rais menyambut tangan laki-laki itu. Ia merasa janggal melihat cara laki-laki itu membungkukkan badan ketika bersalaman. “Kau sepertinya bukan orang sini.”
“Aku dari tanah Jawa. Sudah sejak kecil di sini. Aku ikut orang tua yang bertransmigrasi. Negeri ini sudah seperti kampung halamanku sendiri.” Sukarsa memperkenalkan diri lebih lanjut.
Rais tak tertarik dengan latar belakang Sukarsa. Pertanyaannya tentang maksud kedatangan laki-laki itu belum terjawab. “Kau ingin meminta tolong apa kepadaku?”
Sukarsa menapik pertanyaan Rais. “Bukan aku. Aku hanya anak buah. Tugasku membawa Bapak kepada tuanku.”
“Siapa tuanmu itu?” Rais memandang menelisik ke arah Sukarsa.
Sukarsa tergagu. “Tuanku itu tak ingin diketahi namanya. Bapak nanti bertemu dengan orang kepercayaannya.”
Rais menjadi bingung. “Kau ini kan anak buah, kenapa bukan kau yang jadi orang kepercayaan itu?”
Sukarsa menyeringai. Pertanyaan Rais seperti tamparan di mukanya. Tapi, laki-laki itu sama sekali tak merasa tersinggung. Apalagi marah. “Anak buah itu bermacam-macam. Ada orang kepercayaan, tangan kanan, hingga kaki tangan. Aku ini, di bawah yang tiga itu.”