SEBAGAI anak laki-laki paling besar, Sutan sudah lama tak dianggap. Ada, tapi tak masuk dalam hitungan. Sebagai sumando, ia dicap sebagai langau hijau. Hanya sebagai pelepas hasrat Minel, istrinya yang semok. Laki-laki itu tak punya pekerjaan tetap. Semua kebutuhannya beranak-beristri didapat dari pusaka tinggi milik kaum Minel. Hari itu, Minel menyuruhnya mengawasi panen jagung di ladang yang digarap oleh orang-orang trans.
Panen dilakukan oleh orang-orang yang disewa Minel. Sutan tinggal memastikan jagung yang dimasukan ke dalam karung dinaikan dengan sempurna ke atas truk terbuka. Sulaiman yang memiliki truk tersebut. Selaian sebagai pengumpul pinang, laki-laki itu juga mengumpulkan hasil bumi lainnya dari kampung. Sulaiman suka turun langsung mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tak menjadi tanggung jawabnya. Laki-laki itu memang tak bisa duduk diam. Kebiasaannya bekerja sejak muda-muda dahulu terbawa-bawa sampai sekarang.
“Aku dengar kemenakanmu akan menikah.” Sulaiman mengajak Sutan berbincang-bincang ketika laki-laki itu sedang berdiri di sebelah truknya.
“Aku baru saja tahu dengan kabar itu. Aku tak pernah diberi tahu.” Sutan seperti menumpahkan unek-uneknya kepada Sulaiman.
Kedua laki-laki itu bernasib serupa, walaupun dengan kenyataan yang berbeda. Sulaiman sama sekali tak berdaya dengan urusan pernikahan anak perempuannya. Semua, Tini yang mengurus. Istrinya itu sampai-sampai membayar orang pintar untuk mencarikan jodoh bagi anak gadisnya. Sutan tak punya kuasa atas pernikahan Inun. Itu merupakan aib terbesar sebagai seorang laki-laki di kampung.
“Sebagai ayah, posisiku memang tak kuat. Tapi, sebagai mamak, kau itu punya kuasa atas kemenakanmu.” Tak sengaja, Sulaiman memanas-manasi Sutan. Sebagai laki-laki senasib, Sulaiman ingin menunjukan kalau dia lebih baik dari Sutan.
Upaya Sulaiman berhasil. Panas telinga Sutan mendengar perkataan laki-laki itu. Ingin ia membungkam mulut Sulaiman, tapi ia sungkan kepada Tini. Salah-salah, perempuan itu bisa mengadu kepada Minel atas perlakuan buruknya kepada Sulaiman. Sutan memilih menyimpan kerumuk di dalam dada. Tak lama ia bisa bertahan menjalankan perintah Minel. Sutan pun meninggalkan ladang jagung begitu saja. Tempat itu berubah seperti neraka saja baginya.
Sudah petang, memang saatnya pulang dari ladang. Laki-laki yang pulang dari ladang biasanya singgah di lapau. Sutan pergi ke lapau bukan hanya untuk menikmati segelas kopi dan roti kering. Laki-laki itu ingin menenangkan diri. Perkataan Sulaiman masih terngiang-ngiang di telinganya.
Di lapau, laki-laki itu duduk semeja dengan Dulah dan Leman. Kedua laki-laki itu, kalau berada di lapau seperti induak-induak. Mulutnya lebih tajam dari mulut perempuan. Apalagi, ketika sedang mempergunjingkan orang.
“Aku dengar, kemenakanmu akan menikah.” Dulah memulai sindiran. Semua kabar di kampung cepat sampai ke telinga laki-laki tua itu.
Sutan sama sekali tak membalas perkataan Dulah. Mukanya tiba-tiba memerah karena menahan amarah. Perkataan Dulah barusan tak perlu diucapkan. Rencana pernikahan Inun dan Rais sudah menjadi rahasia umum. Semua orang tahu. Kalau mengungkit-ungkitnya, itu seperti sengaja mencari gara-gara.
“Beruntung sekali laki-laki itu. Duda mendapatkan perawan ting ting.” Leman menyela. Perkataan laki-laki tua itu tak kalah pedasnya.
Sutan masih tak terpancing dengan perkataan Leman. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menikmati kopi hitam yang disuguhkan. Entah mengapa, kopi itu terasa pahit. Padahal, Sutan sudah meminta tambahan gula kepada orang lapau.