LAKI-LAKI itu duduk bermenung menghadap ke jendela kamar yang terbuka. Di hadapannya, seekor anjing liar melintas di pekarangan. Anjing itu mengendus-endus. Sepertinya, binatang yang selalu menumpahkan liur itu mencium sesuatu. Anjing liar mencari-cari di pekarangan. Mengais tanah yang ditumbuhi rerumputan meranggas. Anjing itu mendapatkan rezeki nomplok. Sepotong tulang. Rais ikut senang atas kemurahan alam untuk seekor anjing liar.
Selesai dengan sebuah kejadian tak penting di pekarangan, laki-laki itu melangkah keluar kamar. Sebuah keributan kecil yang terjadi di meja makan mengusik lamunan Rais. Di meja makan, Kirai tampak tersudut dalam situasi panik. Perempuan itu tak bisa menenangkan kedua anaknya yang sedang bertengkar. Mul dan Nina ribut soal lauk yang tersaji di meja makan.
“Pokoknya, Nina mau daging.” Bocah perempuan itu menggerutu.
“Kalau begitu, ikan ini buatku saja.” Mul mengambil sepotong ikan goreng yang tersaji di piring milik Nina. Sebuah perampokan yang membuat Nina uring-uringan.
“Balikin!” Nina memberontak.
Mul melakukan perlawanan. Bocah laki-laki itu berbuat sekuat tenaga untuk menjauhkan piringnya dari jangkauan Nina. Piring itu diangkat tinggi-tinggi. Tak sengaja, Mul menjatuhkan potongan ikan yang dirampasnya dari piring Nina. Potongan ikan jatuh ke lantai. Seekor kucing berbulu belang langsung menyambar ikan. Entah dari mana kucing itu berasal, tahu saja ia dengan rezeki yang tak disangka-sangka.
Nina menangis sejadi-jadinya. Kirai terpaksa melecut Mul untuk menenangkan anak perempuannya. Tapi, upaya itu tak cukup berhasil. Nina marah karena kucing belang. Kucing itu telah ngacir entah kemana. Tinggalah Kirai dengan tatapan bingung. Sudah hilang akalnya menghadapi kedua anaknya yang tiba-tiba berulah.
Rais sempat memperhatikan laku kedua kemenakannya. Tapi, laki-laki itu sama sekali tak melakukan apa-apa. Ia terus melangkah ke ruang belakang, keluar lewat pintu menuju ke pekarangan. Tak lama, laki-laki itu kembali dengan menjinjing sesuatu di tangannya. “Masak ini. Dagingnya lezat kalau digulai.” Rais menjulurkan seekor hewan yang berhasil ditangkapnya. Hewan itu tak lagi berdaya. Rais telah menggorok lehernya.
Nina dan Mul terperanjat. Kedua bocah itu menjererit ketakutan. Kirai bergerak sigap untuk menenangkan kedua anaknya itu. “Abang telah menakuti anak-anakku.” Kirai berteriak kepada Rais. Kirai sama sekali tak terkesan dengan apa yang dilakukan Rais.
Kirai gagal membuat Rais menjauh. Perempuan itu kemudian membawa kedua anaknya meninggalkan ruang makan. Ia membawa Nina dan Mul ke dalam kamar di bagian depan. Sebelum sampai ke depan, di ruang tengah, Rosna mencegatnya. “Ada apa dengan kalian?” Rosna memandang heran ke arah Kirai dan kedua anaknya.
“Lihatlah apa yang dilakukan abang kepada anak-anakku, Bu. Ia membuat anakku ketakutan.” Kirai mengadu kepada Rosna.
Rosna bangkit dari duduknya. Perempuan tua itu melangkah ke ruang belakang. Di meja makan, ia sama sekali tak menemukan seorang pun. “Jangan bersikap berlebihan begitu. Dia memang aneh. Tapi, dia tetaplah saudaramu.” Rosna kembali kepada Kirai. Perempuan tua itu membela Rais di hadapan anak perempuannya.
Rosna sudah bisa memaklumi keanehan Rais. Semuanya menjadi biasa karena perempuan tua itu sudah sering melihatnya. Tidak hanya akhir-akhir ini saja, tapi juga di masa lalu. Apa yang dilakukan Rais, persis sekali seperti yang sering dikerjakan oleh Teboh.
***
MENDUNG datang semenjak pagi. Gerimis muncul di tengah hari. Selepas petang, hujan turun sangat lebat sekali. Petir dan gemuruh sahut-menyahut. Kirai menyekap kedua anaknya di dalam kamar agar Mul dan Nina tak bermain hujan di luar. Hanya Rais yang menunjukan tabiat aneh. Laki-laki itu malah berbasah kuyup di pekarangan rumah.
Sambil menyiapkan menu untuk dimakan nanti malam, Kirai mengadukan keanehan Rais kepada Rosna. “Dia bermain air seperti sengaja hendak mempengaruhi anak-anakku.” Kirai mengadu dengan membuat prasangka.
“Dimana?” Rosna penasaran.