Bisikan Malam

A.R. Rizal
Chapter #28

Tragedi

KIRAI kehilangan anak-anaknya selepas siang. Mul dan Nina tak tampak di pekarangan, tak ada pula di dalam rumah. Perempuan itu malas saja mencari ke kamar Rais. Kedua anaknya asyik bermain di sana.

Tak ada permainan di kamar itu. Mul dan Nina asyik dengan beberapa lembar uang kertas di tangan masing-masing. Yang pasti, itu bukan uang pemberian Kirai. Mana mungkin Kirai memiliki uang sebanyak itu. Upahnya bekerja di tempat pengumpul pinang tak seberapa. Untuk makan sehari-hari saja kadang tak cukup.

“Kembalikan uang itu!” Kirai memarahi anak-anaknya. Perempuan itu mengambil uang kertas dari tangan Mul dan Nina. Uang itu kemudian diletakan di atas meja kecil di dekat Rais yang sedang duduk bermenung. Laki-laki itu sama sekali tak menyadari kehadiran Kirai. Rais terlalu asyik dengan lamunannya.

Tak ada tegur sapa antara Kirai dan Rais. Perempuan itu bergegas menyeret Mul dan Nina keluar dari kamar. Kirai tak ingin keberadaan kedua anaknya itu mengusik Rais. Padahal, Rais sama sekali tak merasa terganggu. Sebenarnya, Kirai hanya berusaha menjauhkan Mul dan Nina dari saudara laki-lakinya itu. Terutama Mul, jangan sampai bocah laki-laki itu terpengaruh oleh pamannya itu.

Rais sama sekali tak mempedulikan kejadian di sekitarnya. Tentang kemarahan Kirai kepada anak-anaknya, apalagi tentang uang yang berserakan di dalam kamar. Tak tertarik sedikit pun ia dengan uang. Laki-laki itu hanya duduk diam di atas kursi kayu. Memandang ke arah jendela yang terbuka. Seperti biasa, tatapannya kosong, seperti tak ada lagi kehidupan di dalam sana. Tapi, ada sesuatu yang terpendam di bola mata itu. Warna merah padam terpencar di retinanya. Itu bukan amarah. Itu tanda kelelahan. Sudah tiga hari tiga malam, Rais tak pernah memicingkan mata.

Laki-laki itu selalu terjaga di atas kursi kayu. Dia berdiam diri sepanjang waktu di tempat itu tanpa melakukan apa pun. Bahkan, menggerakan tubuhnya saja, tidak. Kediamannya bahkan melebihi berhala.

 

Rosna sudah berkali-kali menegur dan mengingatkan anak laki-lakinya itu. Sampai akhirnya, perempuan tua itu merasa bosan sendiri. Ia tak lagi menyapa Rais, tak lagi berbicara kepada anak laki-lakinya itu. Ketika tiba watunya, Rosna mengantarkan makanan dan air minum. Rosna tidak tahun bagaimana Rais menghabiskan makanan dan minuman itu. Setiap kali perempuan tua itu mengambil piring dan gelas dari kamar Rais, selalu kosong isinya. Sungguh janggal.

***

SIANG berganti petang, petang berubah menjadi malam. Rais masih saja berdiam diri di atas kursi kayu yang menghadap ke jendela kamar. Kirai hendak menutup jendela yang terbuka itu agar serangga tak masuk ke dalam rumah. Baru saja menjulurkan muka di daun pintu, Kirai terkejut melihat Rais. Laki-laki itu sepertinya tidak sedang seorang diri. Ia bersama seseorang.

Kirai mengurungkan niat memasuki kamar Rais. Perempuan itu beringsut ke belakang. Memgambil langkah panjang untuk meninggalkan kamar Rais. Di ruang tengah, Kirai mengadu kepada Rosna yang tak sengaja sedang duduk-duduk malas di sana. “Aku kira, abang itu benar-benar tak waras, Bu.” Kirai berbicara dengan raut serius.

“Sejak berhari-hari yang lalu, kau selalu menuduh abangmu itu gila. Ada kasanmu yang tak lepas kepadanya?” Rosna menanggapi perkataan Kirai dengan sebuah pertanyaan bernada nyinyir. Perempuan tua itu mulai tak senang dengan sikap Kirai terhadap anak laki-lakinya. Anak perempuannya itu terlalu mencampuri.

Lihat selengkapnya