Hujan turun deras di Andalusia malam itu. Di bawah cahaya obor yang bergetar, seorang ulama tua bernama Syekh Abdurrahman berlari menembus lorong sempit kota Granada.
Di tangannya ia menggenggam sebuah kitab berbalut kulit, lebih tua dari usianya sendiri. Dari balik jubahnya, kitab itu seakan berdenyut pelan—seolah-olah hidup.
Tentara salib mengejarnya dengan pedang terhunus. Denting besi dan teriakan perang terdengar di belakang. Sang syekh tidak menoleh; ia tahu satu detik saja terlambat, kitab itu akan direbut.
Ia tiba di sebuah ruangan rahasia di bawah perpustakaan Alhambra. Dengan napas terengah, ia meletakkan mushaf itu ke dalam peti batu, lalu melantunkan doa,"ya Allah, lindungilah kalam-Mu ini. Biarlah ia tidur, hingga suatu hari dibangunkan oleh mereka yang Engkau pilih."
Saat lidahnya selesai melafalkan doa tersebut, mushaf itu pun berbisik. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, namun mengguncang dada,"rahasia ini akan hidup kembali ketika dunia diliputi kegelapan."
Syekh Abdurrahman kemudian menutup peti. Kemudian, dalam kegelapan, pasukan salib menemukannya. Pedang mereka menebas tanpa ampun. Darah membasahi lantai batu, tetapi mushaf tetap aman, tertidur selama berabad-abad.