Ketukan di pintu semakin keras, disertai suara logam—entah gagang pintu didorong atau kunci khusus sedang digunakan. Adrian dan Fahri saling berpandangan. Dalam sekejap, keduanya tahu, jika mereka tetap di dalam kamar, mushaf itu akan jatuh ke tangan musuh.
“Jalan satu-satunya jendela,” bisik Fahri cepat.
Adrian menelan ludah. Mereka berada di lantai tiga hotel. Namun, tanpa menunggu jawaban, Fahri sudah membuka tirai dan melongok keluar. Ada balkon darurat dengan tangga besi.
“Cepat, Profesor!”
Adrian meraih koper kecil berisi mushaf, lalu mengikuti Fahri. Baru saja mereka menapakkan kaki di balkon, pintu kamar hotel terdengar jebol. Suara sepatu berlari masuk ke dalam kamar.
“Ke balkon!” teriak suara asing itu.
Fahri melompat menuruni tangga besi, diikuti Adrian yang berusaha keras menahan rasa takut. Hujan rintik membasahi wajah mereka. Dari atas, bayangan pria berjas hitam muncul, menyorotkan lampu senter ke arah mereka.
“Berhenti! Serahkan kitab itu!”
“Lari!” teriak Fahri.
Mereka melompat ke jalan sempit di samping hotel, lalu berlari sekuat tenaga menembus gelap. Adrian hampir terjatuh beberapa kali, tetapi genggamannya pada koper justru makin erat—seolah nyawanya sendiri ada di dalam sana.
Setelah berlari tanpa arah, Fahri akhirnya menarik tangan Adrian.
“Kita harus menuju stasiun. Mereka tidak akan menduga kita langsung kabur keluar kota malam ini.”
Adrian terengah, tubuhnya basah kuyup.
“Stasiun? Kau mau kita naik kereta ke mana?”
“Granada,” jawab Fahri mantap. “Bisikan mushaf itu jelas. Di sanalah kunci pertama akan kita temukan.”
Adrian mengangguk ragu. “Granada, baiklah. Tapi bagaimana kita bisa sampai ke sana tanpa mereka membuntuti?”