Bising

Rinov
Chapter #2

#2 Cerita yang Berulang

Pagi masih buta kala kukayuh sepedaku menuju sebuah pasar tradisional di dekat rumahku. Langit masih didominasi gelap dan hanya berhias sedikit guratan jingga. Tak seperti biasa, udara Jakarta pagi ini terasa lebih bebas karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ruas-ruas jalan yang kulewati begitu lengang hingga membuatku tak percaya bahwa ini adalah Ibukota. Jakarta sepi, Jakarta hanya begerak pada ranah-ranah tertentu yang berkaitan langsung dengan kehidupan, seperti pasar yang akan kudatangi, pasar yang memberikan keluargaku sesuap nasi.

Ada sejumlah plastik kentang mustofa di dalam tas jinjing yang kugantungkan di pegangan sepedaku. Tas jinjing itu bergelayut seiring laju sepeda yang kukayuh. Ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, dan terkadang memutar, tas jinjing ini begitu gemulai bak penari yang luwes berlenggak-lenggok di panggung sendratari. Sesekali kudengar plastik-plastik di dalam tas jinjing itu bersenda gurau, sesekali pula kudengar mereka membicarakan diriku. Sesekali mereka berbisik, sesekali obrolan mereka terdengar jelas di telingaku. Topik apa lagi yang mereka bicarakan kalau bukan tentang mimpiku. Sama seperti para tetangga di lingkungan rumahku, bungkusan-bungkusan itu terlalu peduli kepadaku. Bukannya senang, terkadang kepedulian mereka justru membuatku kesal. Geram. Ingin rasanya kuempaskan plastik-plastik dagangan ibuku itu sebab kegaduhan yang mereka ciptakan membuat darahku naik ke ubun-ubun di pagi yang sejuk ini. Jika saja mereka itu manusia , tentu sudah kugertak mereka secara langsung. Akan tetapi mereka hanya barang dagangan yang bisu, bisa-bisa aku dicap gila jika menggertak mereka sama seperti aku menggertak tetangga-tetanggaku.

Seminggu yang lalu kejadian itu tak mampu kuelakkan. Kudengar mereka membicarakan aku ketika aku berjalan melewati sebuah teras tempat mereka berkumpul. Tak perlu menyebut nama untuk tahu siapa yang mereka bicarakan; anak seorang pemulung dan penjual kentang mustofa di daerah tempatku tinggal hanyalah aku. Salah seorang di antara mereka, para tetanggaku, berkata, "Ngimpi kali ye anak tukang pulung mau sekolah tinggi. Emang dikira sekolah tinggi kagak pake duit?"

Lihat selengkapnya