Pondok Pesantren Ar-Rasyid, yang berdiri kokoh di atas tanah seluas satu hektar itu. Memiliki satu masjid utama, dengan arsitektur arab clasic, menjadi daya tarik di sana.
Sementara itu, Ehan Hariri, Ustadz muda, 25 tahun, sedang mengayunkan kakinya pelan. Berjalan santai sambil melihat sekitar yang masih asri. Sesekali menarik napas dalam-dalam, menghirup udara yang begitu menyejukkan raga.
Kualitas udara di sana memang masih terjaga karena jauh dari perkotaan. Asap kendaraan dan lain sebagainya.
Ehan secara khusus mendatangi pondok pesantren Ar-Rasyid, atas undangan makan siang dari Kiai Hamdan dan para ustadz di sana.
Ehan tidak bisa menyembunyikan kekagumannya akan keindahan alam yang mengelilingi pondok pesantren Ar-Rasyid. Sudah cukup lama, ia tidak merasa setenang ini di suatu wilayah.
Disela-sela itu, rombongan santriwati serta dua wanita dewasa, tanpa sengaja berpapasan dengan Ehan dan menyapa.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Nak Ehan," salam Umi Afi lebih dulu, disertai senyuman tipis.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Ustadzah Afiyah." Seramah mungkin Ehan membalas salam tersebut.
Ehan menunjukkan senyuman yang meneduhkan.
"Panggil, Umi Afi saja!" tegas wanita itu, yang tidak lain adalah istri dari pemilik pesantren Ar-Rasyid.
Usianya memang sudah tidak muda lagi. Akan tetapi, senyuman yang ikhlas, membuat Umi Afi terlihat masih seperti wanita tiga puluhan tahun.
"Baik, Umi." Ehan mengangguk. "Kalau boleh tahu, Umi dan yang lainnya hendak kemana?" tanya Ehan diakhir kalimat.
"Umi, dan yang lainnya ingin bertemu para orang tua santriwati, yang kebetulan sedang menjenguk anak-anaknya di sini. Kalau Nak Ehan, sendiri sedang apa di sini?" Umi Afi balik bertanya.
"Oh, begitu ya, Umi" Ehan mengangguk lagi, kemudian tersenyum tipis. "Saya sedang melihat-lihat pesantren ini, Umi. Masyaallah. Sanggah indah pemandangan sekitar sini, Umi. Membuat saya betah ingin berlama-lama."
Umi Afi pun terkekeh kecil, "Alhamdulillah, sekiranya Nak Ehan betah di sini. Umi merasa senang."
"Iya, Umi. Terima kasih." Ehan tersenyum simpul.
Sementara itu, empat santriwati yang ikut bersama Umi Afi pun, terpana akan ketampanan Ehan. Mereka saling berbisik dan bersenggolan, membicarakan ketampanan Ehan, yang secara tidak langsung dapat didengar sang pemilik nama. Namun, Ehan memilih mengabaikannya.
Bukan rahasia umum lagi, Ehan adalah ustadz muda yang namanya sedang digandrungi oleh banyak orang, terutama para kaum hawa karena parasnya yang tampan layaknya aktor film. Ehan pun mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Allah, kepada dirinya.
"Umi, aku duluan ya. Permisi. Assalamu'alaikum," pamit salah satu santriwati yang sedari tadi hanya diam dan wajahnya sengaja menunduk. Di antara yang lain, hanya ia yang tidak menatap Ehan. Memang begitu adanya.
"Waalaikumussalam ... Syaza, tunggu!" panggil Umi Afi. Namun, santriwati itu sudah mempercepat langkahnya, tanpa ia pedulikan panggilan tersebut. Seakan tidak ingin berurusan lebih jauh.
"Biar, saya saja yang mengejarnya, Umi. Permisi. Assalamu'alaikum." Setelah pamit, wanita dewasa yang mengenakan hijab berwarna putih polos itu, lantas mengejar santriwati yang akrab disapa Syaza tersebut.
Sebelumnya ia tidak lupa untuk menundukkan kepala, sekaligus salam kepada Ehan.