BISMILLAH CINTA

Titik Balik Author
Chapter #2

2. MENOLAK LAMARAN

"Han, ente yakin mau jadi pengajar di sini?" tanya seorang pemuda mengintrogasi Ehan, sesampainya ia di kamar Ehan beberapa saat lalu.

Sementara Ehan mengangguk, menanggapinya santai, "iya, ana yakin, Ri!" Ia menjawab dengan tegas. "Lagi pula, sejak lama ana memiliki keinginan untuk menjadi pengajar di pondok pesantren. Mungkin inilah jalan yang Allah, berikan kepada ana."

"Tapi, Han. Ente engga bisa semudah gitu aja membatalkan jadwal ceramah yang sudah kita sepakati bersama. Sangat jelas akan membuat para jamaah ente kecewa." Pemuda itu mengingatkan, yang lantas membuat Ehan tersenyum tipis.

Ya, namanya adalah Fahri. Sahabat Ehan sejak masih duduk di bangku SMP, sekaligus teman satu kamar saat Ehan di pondok pesantren dulu.

Fahri yang sedang berapa di luar kota pun, buru-buru datang ke pondok pesantren Ar-Rasyid, setelah mendapat kabar dari Ehan langsung, bahwa ia akan menjadi pengajar.


"Ana kan tidak bilang untuk membatalkan semua jadwal ceramah. Ana tahu, dalam satu Minggu ini, ana harus menghadiri ceramah di tiga acara. Nanti ana akan bicarakan ini kepada Pak Kiai. Setelah itu, ana akan fokus menjadi guru di sini," terang Ehan santai, seakan tidak memiliki beban.

Fahri menghela napas panjang. "Hem ... Ok, ok. Jika ini adalah keputusan ente. Ana sebagai sahabat, tidak bisa melarang apa lagi mengekang, ana hanya bisa mendukung semua keputusan ente, selama itu benar."

Ehan pun tersenyum simpul sambil menepuk bahu sahabatnya itu. "Terima kasih. Kau memang sahabat terbaik yang ana miliki."

"Ente harus jaga diri baik-baik di sini." Fahri mengingatkan dan Ehan mengangguk paham. "Insyaallah. Ana akan menjaga diri baik-baik di sini. Semua orang di pondok pesantren ini, ramah-ramah. Terutama Pak Kiainya. Ana merasa seperti di rumah."

"Hem, bicara soal rumah. Ente sudah katakan ini kepada Abi?" tanya Fahri sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

"Ana belum mengatakan apa-apa kepada Abi perihal keinginan ana untuk mengajar di sini, tapi ana yakin. Abi akan sangat setuju dengan keputusan ana ini."

"Hem, begitu kah? Omong-omong, kapan Abi kembali ke Indonesia?" tanya Fahri kembali, sambil mengambil cangkir kopi di hadapannya, lalu meneguknya perlahan-lahan, sembari melirik Ehan.

"Insyaallah, jika tidak ada halangan dan hambatan, Abi akan pulang ke Indonesia bulan September nanti. Abi tidak mengatakan tanggal pastinya. Ya, semoga Abi sampai dengan selamat di Indonesia," harap Ehan.

"Amiiin." Fahri mengusap wajahnya dengan kedua tangan setelah meletakkan cangkir kopinya di meja.


"Insyaallah, ana akan menceritakan semuanya kepada Abi, ketika Abi sudah ada di Indonesia. Ana tidak mau menganggu pekerjaan Abi di Kairo, sekarang."

Fahri mengangguk, kemudian mendelik ke arah Ehan, menatapnya penuh pertanyaan. "Han, tujuan ente ngajar di pesantren ini, bukan untuk mendekati cucu kiai di sini kan?"

"Astaghfirullah, Ri. Ente ngomong apaan si? Ya, enggalah. Ana ngajar di sini lillahi ta'ala. Ente kadang-kadang ya," elak Ehan, sambil mengalihkan pandangannya cepat. Buru-buru diambil cangkir kopi di aja meja, kemudian meneguknya.

Napas Ehan sedikit memburu dan keningnya sampai berkeringat karena pertanyaan tersebut.

Fahri tersenyum kecil, melihat perubahan sikap Ehan yang seperti orang terciduk. "Heum, jangan bohong deh sama ana. Tuh muka kelihatan banget bohongnya," tuduhnya kemudian.

Ehan tersedak napasnya sendiri, "Astagfirullah, Ri. Apaan si? Ana mana bisa bohong sama ente. Bohong tuh dosa, Ri."

Ehan sedikit tersulut. Namun, ia cepat-cepat mengendalikan diri supaya tidak lebih jauh terpancing celotehan Fahri yang asal ceplos.

"Ok, ok. Ana cuma becanda, Han. Jangan serius kayak gitu. Yasudah. Ana pamit dulu karena masih ada urusan yang harus ana selesaikan hari ini."

Fahri bangun dari tempat duduknya. Pun dengan Ehan di waktu yang hampir bersamaan. "Iya. Nanti ana kabari lagi soal jadwal ceramah, ke ente."

Lihat selengkapnya